Puisi Puisi Karya Edy Priyatna

- Senin, 08 Januari 2024 | 20:01 WIB
Puisi Puisi Karya Edy Priyatna

Sajak-sajak Itu Mengalir Deras Seperti Angin Menyelir

Walau sekarang ini masih terus diuji air mataku telah banyak terkuras.
Membersihkan orang fakir menggadai nyawanya di tempat sampah.
Air mataku sudah mulai mengering untuk sahabatku di negeri timur.
Demi busung lapar di tanah sendiri menderita karena hartanya direnggut.
Kawanku berpalinglah sebentar walaupun jauh.
Lapakkan aku di ronggamu datanglah dari letak diri.
Beri isi hatimu aku rindu solidaritas.

Waktu malam mulai mengalun menahan kerinduan bertemu.
Saban adegan dialog panjang menari ikuti irama di atas panggung.
Takkan ada seorangpun mampu mengusapmu.
Selanjutnya sajak-sajak itu mengalir deras seperti angin menyelir.
Mematikan api berkobar pada kedua belah pengaruhmu.
Kini air mataku masih banyak tersisa.
Lamun tetap bukan untuk negeriku tetapi akan aku simpan di wadah.

Menerima minum anak-anak tukang sampah di perempatan jalan.
Melacak makan pada tutup botol berkayu serta botol plastik bekas.
Air dan sebagiannya akan kugunakan membersihkan.
Tubuh saudaraku terguyur lumpur ajaib.
Selamanya menyembur akibat ulah buruk makan.
Saudaraku tolong tatap raut muka ini lihat dada nan lapang.
Sinar tajam mata hati sahut suara dari mulut.

Seluruh nan kumiliki masih ada aku menjumpaimu.
Rindu tak ada lagi tersisa semua untuk meratapi isi negeriku.
Sebab sudah terlalu lama menanti janji tak kunjung datang.
Di akhir waktu ini ingin rasanya menciumi telapak para pemimpin.
Sebaliknya rasa itu tiba-tiba sirna karena telapaknya terlalu halus dan bersih.
Selama para tukang pembuang sampah telapaknya mengelupas.
Sadis dan kotor setiap hari selalu berjalan tak melepas.

Pondok Petir, 19 Desember 2023

 

Hidanganmu adalah Ujian Sepanjang Masa

Cairanmu menimbun wajah malam suara deras hujan dalam sajak.
Siraman hati mungkin perih tanah digali terangkat dari dalam.
Disiplin tak kan pernah selesai walau pagi maupun musim berpaling.
Hamba terpanas terik deru debu santapan kami.
Meski setiap hari mencari rejeki demi sesuap nasi kadang kala.
Berkoar dalam sunyi selalu menanti penata peduli semua ini.

Berjalan kau memberi tiupan basah dan dingin.
Hening tanpa suara pasti takkan ada suara-suara lain.
Serupa keinginanmu agar akhir tahun takkan meningkat.
Waktu kami merasa telah berbeda sadarkah siapa telah mengangkatmu.
Kamu bagaikan dewa membunyikan lonceng di angkasa.
Hamba dibumi mengharap gaungan itu nyaring mempesona.

Hingga menjadikan dirimu duduk di kursi.
Sebatas menjadikan dirimu berdiri sehingga menjadikan dirimu bertahta.
Perihal suasana gelap meski pohon tumbang.
Hambal kini kecewa karena telah memilih meong di dalam kembut.
Hidanganmu adalah ujian sepanjang masa.
Gelora membelah bumi tetap kutatap malam kutatap penutup gerimis.

Pondok Petir, 22 Desember 2023

 

Bahwa Sajak-sajak Itu Mengucur Deras

Selanjutnya kau memberi tiupan basah dan dingin.
Hening tanpa suara pasti takkan ada suara-suara lain.
Bagaikan keinginanmu agar akhir tahun takkan beranjak.
Sendu bukan untuk negeriku.
Tetapi untuk kerut muka dan bau badannya.
Sebab di dalam istana negeriku aroma wangi saling beradu.
Sendiri-sendiri berbeda rasa.
Beragam pewangi kerap dipromosi.
Basi keringat jadi wangi bunga kasturi.

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: suaramerdeka.com

Komentar