MURIANETWORK.COM - Rempang Eco City, di Batam, Kepulauan Riau, kian meruncing. Polresta Barelang, Kota Batam, menetapkan tiga warga penolak proyek strategis nasional (PSN) sebagai tersangka atas tuduhan melanggar Pasal 333 KUHP karena merampas kemerdekaan orang lain, 18 Januari lalu.
Siti Hawa atau Nenek Awe, 67 tahun, salah satu tersangka selain Sani Rio (37) dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54).
“Nenek dianggap merampas kemerdekaan, nenek sebenarnya tidak menerimanya. Kami bingung juge, apa yang kami rampas, ape salah nenek, nenek tak ngapa-ngapain ,” katanya, usai peringatan Isra Mi’raj dan orasi penerimaan Eco Rempang City di Kampung Sembulang Pasir Merah, 30 Januari 2025.
Penetapan tersangka itu berawal dari perusakan spanduk protes PSN Rempang Eco City oleh petugas PT Makmur Elok Graha (MEG), anak usaha Artha Graha, selaku pengembang proyek seluas 17.000 hektar itu.
Warga kemudian mengamankan pekerja perusahaan untuk bawa ke polisi.
Pada waktu hampir bersamaan, sekelompok orang– belakangan ternyata– petugas MEG menyerang warga .
Buntutnya, delapan warga Rempang terluka, tiga posko perjuangan penolakan PSN hancur, dan belasan kendaraan warga rusak. Dua petugas MEGjadi tersangka, yaitu RH (28) dan AS (24).
Perusahaan pun tak tinggal diam. Mereka melaporkan balik warga atas tuduhan merampas kemerdekaan karena menahan petugas yang diduga merusak spanduk perjuangan warga.
Pelaporan inilah berujung penentuan tersangka Nenek Awe dan dua warga lainnya.
Bukankah ini sudah kelewatan.
— Mulyanto (@pakmul63) February 15, 2025
Negeri yang dimerdekakan oleh para pejuang-ulama.
Lihat siapa yg jadi RAJA dan TERSANGKA PAPA.
Seperti ini bukan negeri yang DICITAKAN para founding fathers.
Coba buka sedikit NURANI dan rasa KEBANGSAAN kita...
😭😭😭 https://t.co/kZlarQUADb pic.twitter.com/a5TClUDsCM
Tuai Kecaman
Nenek Awe Cs jadi tersangka menuai kecaman berbagai pihak. Edi Kurniawan, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, penetapan tersangka mereka terkesan dipaksakan.
“Motifnya jelas, untuk memberi tekanan pada perlawanan warga penolak PSN Rempang Ecocity. Seharusnya, polisi memburu semua pelaku penyerangan itu,” katanya.
Awe yang keras menolak proyek ini sangat berpeluang menjadi sasaran serangan balik (kriminalisasi) dari pihak yang berseberangan. Untuk membungkamnya, dengan menjebloskan ke penjara melalui jeratan pasal KUHP.
“Dilihat dari segi perbuatan, unsur pasal, dan motifnya, ini sangat dipaksakan, kental nuansa kriminalisasinya.”
Awe merupakan warga asli Pulau Rempang yang sejak awal menolak proyek peninggalan Presiden Joko Widodo ini.
Kendati usia tak lagi muda, dian tetap kuat tak menyerahkan tanah kepada perusahaan atau pemerintah.
“Seperti apapun intimidasi yang nenek dapatkan, saya akan mempertahankan kampung ini. Nenek tetap menolak, itu prinsip nenek,” katanya.
Awe terima surat polisi pada 18 Januari 2025. Dia sempat menolak surat itu dan meminta serahkan kepada kuasa hukum.
Supriardoyo Simanjuntak, dari LBH Mawar Saron Kota Batam, mempertanyakan, alasan polisi menetapkan tiga warga Rempang jadi tersangka.
Dia minta, Polresta Barelang menyelidiki, terutama informasi terkait barang bukti yang menjadi dasar polisi menetapkan tersangka.
“Jerat perampasan kemerdekaan itu sangat janggal. Bagaimana dengan kemerdekaan warga untuk mempertahankan tanah kelahiran yang dirampas?”
Kecaman juga datang dari Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang. Syamsul Agus Alam dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menilai, penetapan tersangka itu bukan untuk menegakkan hukum.
“Lebih untuk membungkam perjuangan masyarakat Pulau Rempang dalam mempertahankan ruang hidupnya. Ini jelas kriminalisasi.”
Tim Solidaritas mengeluarkan catatan atas persoalan ini. Antara lain, meminta Presiden Prabowo Subianto membatalkan PSN Rempang, meminta kapolri segera memerintahkan Kepala Polresta Barelang menghentikan proses hukum tiga warga Rempang.
Juga, meminta penggunaan militer oleh BP Batam, hingga meminta MEG keluar dari Pulau Rempang agar masyarakat merasa aman dan damai.
Polisi Harus Profesional
Di tengah polemik buntut penetapan tiga tersangka warga Rempang, Polresta Barelang menggelar audiensi dan silaturahmi dengan beberapa organisasi masyarakat Melayu, 31 Januari lalu. Audiensi membahas perkembangan penanganan kasus penyerangan terhadap warga itu.
Kegiatan ini pun memantik protes karena diduga mencatut nama Lembaga Adat Melayu (LAM) Batam dan beberapa ormas Melayu lain untuk mendukung PSN.
“Kami membantah hadir dalam acara itu, kami keberatan dan menyayangkan Polresta tidak profesional. Seharusnya sesuai fakta. Faktanya kami tidak hadir,” kata YM. H. Raja Muhamad Amin, Ketua Umum LAM Kepri Kota Batam.
Dia berdiri bersama warga Rempang menolak PSN Eco City. Dia juga meminta PSN ini batal.
“Logikanya, PSN itu harusnya memberikan kemaslahatan, bukan merugikan masyarakat.”
LAM juga mendesak polisi cabut status tersangka kepada ketiga orang warga Rempang.
Dia bilang, penetapan tersangka itu hanya cara untuk menekan warga yang menolak PSN.
Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB) juga meradang karena kena catut dalam siaran pers Polresta Barelang. Ishaka, Ketua Amar GB menegaskan, tidak menghadiri acara itu.
“Pencatutan itu merugikan Amar GB, karena mayoritas masyarakat Pulau Rempang berjuang menolak penggusuran untuk PSN Rempang Eco City,” katanya.
Sumber: Mongabay
Artikel Terkait
Mengejutkan! Kades Kohod Bantah Jadi Aktor Pemalsuan SHM, Bongkar 2 Nama Inisial
GAWAT! Analis Sebut Gerakan Adili Jokowi Bisa Meluas, Ini Alasannya
Pengakuan Terbaru Kades Kohod: Sebut Ada Pelaku Utama, Disodori Obat Saat Diperiksa Polisi
Tom Lembong Protes Dibungkam tak Bisa Bicara ke Wartawan, Kejaksaan Sibuk Sanggah