Catatan Agustinus Edi Kristianto:
Pikiran saya tentang Danantara simpel: semakin besar dana kelolaan, semakin besar daya ungkit (leverage), risiko pun semakin besar! Jangan hanya bicara soal enak dan untungnya saja.
Risiko terbesar bagi lembaga yang bakal mengelola aset BUMN sebesar Rp14 ribuan triliun itu adalah penyalahgunaan kekuasaan yang memanfaatkan aset triliunan tersebut untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Apalagi jika tidak ada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat.
Saya batasi dua hal saja: reputasi/rekam jejak orang-orangnya dan privatisasi.
(1) Reputasi/Rekam Jejak
Dalam sebuah lembaga pengelola investasi, sangat penting untuk pertama-tama melihat siapa saja orang yang mengelola.
Dalam hal ini, kita bicara tentang rekam jejak dan reputasi orang yang bersangkutan dalam dunia keuangan dan investasi.
Ada tiga posisi kunci: Presiden, Menteri BUMN, dan Kepala Badan Pelaksana Danantara.
Presiden sebagai kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan BUMN.
Kekuasaan presiden itu dikuasakan kepada Menteri BUMN selaku pemegang saham Seri A Dwiwarna (1%) dan 99% kepada Badan (Danantara) sebagai pemegang saham Seri B pada holding investasi (keuangan negara-kah?)
Menteri BUMN adalah Erick Thohir dan Kepala Badan Pelaksana Danantara adalah Rosan Roeslani.
Menteri BUMN memiliki multiperan di Danantara yang sangat strategis: sebagai kuasa pemegang saham Dwiwarna, Ketua Dewan Pengawas, dan Ketua Komite Privatisasi.
Sementara itu, Kepala Danantara adalah pelaksana dan juga membawahkan Komite Investasi.
Seperti apa reputasi keduanya?
Anda tahu, saya kritis terhadap Erick Thohir yang berkaitan dengan dugaan konflik kepentingan dalam investasi BUMN Telkom/Telkomsel di GOTO sebesar Rp6,4 triliun, mengingat kakak Erick Thohir adalah pemilik dan pengurus di GOTO.
Rekam jejak Rosan, baik secara pribadi maupun sebagai pendiri Recapital Advisors (bergerak di bidang manajemen aset), sangat patut kita kritisi juga.
Pada tahun 2014, Rosan diduga terlibat dalam kasus pengalihan dana sebesar USD 173 juta (sekitar Rp2 triliun ketika itu) di BUMI Plc melalui putusan Pengadilan Arbitrase Singapura.
Pada tahun 2020, Asuransi Recapital ditutup oleh OJK karena masalah solvabilitas.
Pada tahun 2021, PT Recapital Asset Management (RAM) adalah salah satu dari 10 tersangka korporasi yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Asabri.
Silakan masyarakat menilai sendiri reputasi keduanya.
Misalnya, apa jaminannya bahwa kakak Menteri BUMN tidak akan ikut campur dalam pengelolaan Danantara seperti di GOTO? Bagaimana kelanjutan proses hukum anak perusahaan Recapital dalam kasus Asabri dan kasus-kasus lainnya? Siapa saja klien Recapital yang berpotensi bersinggungan dengan Danantara?
(2) Soal kedua adalah privatisasi
Dalam bahasa awamnya: jangan sampai BUMN dijual atau digadaikan sembarangan.
Ada tiga metode privatisasi yang perlu kita soroti: penjualan saham melalui pasar modal, penjualan saham kepada investor langsung, dan penjualan saham kepada manajemen/karyawan.
Privatisasi BUMN sangat rentan terhadap penyalahgunaan karena mekanisme pengawasan yang lemah (atau dilemahkan?)
Menteri BUMN berwenang menyusun rencana program privatisasi tahunan (sampai soal jumlah saham dan harga jual), dan dia pula yang membawa rencana itu untuk dibahas di Komite Privatisasi, di mana dia menjabat sebagai ketua.
Pelaksana privatisasi adalah BP Danantara, di mana Menteri BUMN juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas.
Setelah semua proses itu, privatisasi diputuskan oleh Presiden melalui Peraturan Pemerintah setelah disetujui oleh alat kelengkapan DPR (Komisi VI BUMN)—catat, cukup alat kelengkapan, bukan pleno DPR.
Memang ada kriteria BUMN yang tidak boleh diprivatisasi, misalnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Namun, ada pula kriteria BUMN yang boleh diprivatisasi, yaitu persero yang industri/sektor usahanya kompetitif dan memiliki perubahan teknologi yang cepat.
Dugaan saya, 'incaran' pertama yang bisa 'diolah' adalah BUMN di sektor perbankan, kemudian yang relatif 'abu-abu' seperti Telkom, lalu sebagian anak usaha BUMN di sektor pertambangan dan energi (setelah dipilah mana yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan mana yang tidak).
Privatisasi juga agaknya bisa menjadi obat mujarab jika terjadi kegagalan dalam pembayaran obligasi.
Dengan aset kelolaan sebesar Rp14 ribuan triliun, Danantara memiliki kapasitas yang semakin besar untuk menerbitkan obligasi (berutang) demi kebutuhan proyek strategis.
Tetapi, bagaimana jika gagal bayar? Entah karena proyeknya gagal atau karena dikorupsi, itu masalah yang nyata.
Sebelum jauh melangkah, saya usulkan dua langkah konkret saja:
(1) Uji materiil UU 1/2025 tentang BUMN, terutama pada pasal yang mengatur pengawasan privatisasi BUMN;
(2) Ganti pengurus Danantara (Menteri BUMN dan Kepala Badan) dengan orang yang memiliki reputasi dan rekam jejak yang lebih baik melalui proses seleksi yang lebih transparan.
Salam.
_________________
Beberapa rujukan:
TAGS
Artikel Terkait
Profesor LIPI Desak KPK Selidiki Dugaan Korupsi Setelah Aksi #AdiliJokowi Viral: Negara Harus Berani!
DERETAN Orang Hebat Pertamina Terjerat Korupsi: Ketiganya Sudah Direktur, Tapi Masih Kekurangan
Selain Hasto, Belum Pernah Ada Tersangka Korupsi di KPK Ajukan Penangguhan Penahanan
SIMAK! Ramai Tagar Adili Jokowi, Ini Kasus Dugaan Korupsi Yang Seret Nama Jokowi dan Keluarga