DERETAN Orang Hebat Pertamina Terjerat Korupsi: Ketiganya Sudah Direktur, Tapi Masih Kekurangan

- Selasa, 25 Februari 2025 | 13:40 WIB
DERETAN Orang Hebat Pertamina Terjerat Korupsi: Ketiganya Sudah Direktur, Tapi Masih Kekurangan




MURIANETWORK.COM - Kasus korupsi di tubuh Pertamina berhasil dibongkar Kejaksaan Agung (Kejagung).


Dalam kasus itu, tiga orang penting Pertamina sudah diamankan.


Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shiping, Yoki Firnandi (YF), Dirut Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS) (tengah), Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin (SDS).


Ketiganya merupakan tokoh utama  dalam kasus pengelolaan minyak mentah dan produk kilang selama periode 2018 hingga 2023.


Penetapan tersangka ini dilakukan setelah melalui proses penyidikan yang mendalam, termasuk pemeriksaan terhadap 96 saksi, 2 ahli, dan pengumpulan bukti dokumen yang sah.


Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyampaikan bahwa bukti-bukti yang dikumpulkan menguatkan dugaan keterlibatan Dirut Pertamina Patra Niaga dalam tindak pidana korupsi tersebut.


Dalam kasus ini Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka.


"Setelah memeriksa saksi, ahli, serta bukti dokumen yang sah, tim penyidik menetapkan tujuh orang sebagai tersangka," kata dia, Selasa (25/2/2025). 


RS akan ditahan selama 20 hari untuk proses pemeriksaan lebih lanjut bersama dengan enam tersangka lainnya.


Mereka adalah SDS, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; YF, pejabat di PT Pertamina International Shipping; AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional; MKAN, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.


Dugaan korupsi impor minyak mentah Pertamina ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp 193,7 triliun.


Dirut Pertamina Patra Niaga "sulap" BBM RON 90 jadi 92


Dalam menjalankan aksinya, RS "menyulap" BBM RON 90 menjadi RON 92 (Pertamax).


Modusnya, RS melakukan pembayaran produk kilang untuk RON 92 (Pertamax), tetapi BBM yang dibeli adalah jenis RON 90.


BBM RON 90 itu kemudian dicampur di Depo untuk menjadi RON 92. Kejagung menegaskan, praktik tersebut tidak diperbolehkan.


Menurut Abdul Qohar, kasus ini bermula dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 yang mewajibkan PT Pertamina memprioritaskan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.


Aturan tersebut membuat pemenuhan kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipasok dari dalam negeri. Begitu juga dengan kontraktor yang harus berasal dari Tanah Air.


Namun, hasil penyidikan Kejagung mengungkapkan, RS, SDS, dan AP mengondisikan rapat optimalisasi hilir.


Rapat itu menjadi dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.


Dengan begitu, pemenuhan minyak mentah dan kebutuhan kilang dilakukan melalui impor yang melawan hukum.


Saat produksi minyak mentah turun, dibuat skenario untuk sengaja menolak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).


Dengan skenario itu, produksi minyak mentah K3S dianggap tidak memenuhi nilai ekonomis. Padahal, harga yang ditawarkan masih tergolong rentang harga normal.


Selain itu, produksinya juga ditolak dengan alasan tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan. Alhasil, minyak mentah produksi K3S diekspor ke luar negeri.


Sementara, kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipenuhi melalui impor.


Abdul Qohar menuturkan, ada perbedaan harga yang sangat tinggi antara minyak mentah impor dan produksi dalam negeri.


Para tersangka diduga mengincar keuntungan lewat tindakan pelanggaran hukum ini.


”Selanjutnya kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat atau mens rea antara tersangka penyelenggara negara dan tersangka broker,” tutur dia, dikutip dari Kompas.id, Selasa.


Tersangka RS, SDS, dan AP juga memenangkan broker lewat cara yang melawan hukum. 


Sementara, tersangka DW dan DRJ berkomunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi saat syarat belum disetujui oleh SDS ketika mengimpor minyak mentah dan dari RS untuk produk kilang.


Pada saat proses impor minyak mentah dan produk kilang, ditemukan adanya manipulasi (mark up) kontrak pengiriman yang dilakukan YF lewat PT Pertamina International Shipping.


Akibatnya, negara harus membayar fee sebesar 13-15 persen yang menguntungkan tersangka MKAN.


Perbuatan melawan hukum ini mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun.


Respons Pertamina


VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamina akan menghormati proses hukum yang berjalan.


"Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah," ujarnya, saat dikonfirmasi, Selasa.


Fadjar menyampaikan, Pertamina Grup telah menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.


Berbekal hal tersebut, Pertamina menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan tetap berjalan normal seperti biasa.


Sumber: Tribun

Komentar