TRAGIS! Matinya Menteri Korup di Dalam Penjara

- Jumat, 07 Maret 2025 | 15:30 WIB
TRAGIS! Matinya Menteri Korup di Dalam Penjara


Matinya 'Menteri Korup' di Dalam Penjara


Jusuf Muda Dalam dikenal sebagai politikus handal hingga menjabat sebagai menteri di Kabinet Dwikora tahun 1963-1966. Namun kejayaannya berakhir tragis. Divonis mati karena korupsi.


Anda bisa membohongi semua orang dalam satu waktu. Anda juga bisa membohongi satu orang sepanjang waktu. 


Tapi Anda tidak bisa membohongi semua orang sepanjang waktu,” ucap Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, periode 1861-1865.


Salah satu sosok yang dianggap membohongi rakyat seperti ucapan Lincoln itu, menurut Effendy Sahib dalam bukunya, adalah Teuku Jusuf Muda Dalam, seorang menteri di Kabinet Dwikora II atau Kabinet 100 Menteri era Presiden Sukarno. 


Jusuf Muda Dalam menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral, sekaligus Direktur Bank Negara Indonesia atau Bank Nasional Indonesia (BNI) pada periode 1963-1966.


“JMD (Jusuf Muda Dalam) orang yang dulu pernah ngaku pemimpin rakyat dari rezim 100 Menteri, ini pada hakikatnya telah diseret rakyat yang dulu kenyang dikibulin olehnya, diseret ke depan Pengadilan Subversif untuk diadili,” kata Effendy Sahib dalam buku berjudul 'Anak Penjamun di Sarang Perawan (Skandal J.M.D)’ (1966).


Dikutip dari laman Kemendikbud.go.id, Jusuf Muda Dalam, pria kelahiran Sigli, Aceh, 1 Desember 1914, sempat mengenyam pendidikan tinggi ekonomi di Economische Hoges School Rotterdam, Belanda, pada 1936 hingga 1938. 


Namun, Jusuf Muda Dalam yang tergabung Perhimpunan Indonesia (PI) harus mengakhiri masa studinya lebih awal karena gempuran pasukan Jerman ke Negeri Kincir Angin.


Saat itulah Jusuf Muda Dalam masuk ke dalam gerakan bawah tanah dengan menjadi wartawan harian De Waarheid milik Partai Komunis Belanda. Dia melakukan perlawanan terhadap tentara National Sozialistische (NAZI) Jerman di Belanda. 


Desingan peluru sudah biasa dihadapi sejak menjadi jurnalis. Bahkan dia sering ikut pasukan gerakan bawah tanah dalam Perang Dunia ke-2 tersebut.


Sekembalinya ke Indonesia pada 1947, Jusuf Muda Dalam bekerja di Kementerian Pertahanan pimpinan Amir Syarifuddin Harahap di Yogyakarta. 


Karir politiknya dimulai dengan bergabung ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia sempat menjabat sebagai Ketua Seksi Ekonomi PKI Cabang Yogyakarta.


Saat itu Jusuf Muda Dalam terlibat pemberontakan Front Demokrasi Rakyat yang mendeklarasikan Republik Soviet Indonesia pada 18 September 1948. Dia ditangkap dan ditahan di Desa Wirogunan, Yogyakarta. 


Ketika terjadi serangan Operasi Gagak, atau yang dikenal Agresi Militer Belanda ke-2 di Yogyakarta, Jusuf Muda Dalam berhasil melarikan diri dari tahanan pada 19 Desember 1948.


Karena merasa tidak sejalan lagi dengan PKI, Jusuf Muda Dalam hengkang dari partai tersebut. Dia bergabung ke Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 1954. Di partai itu karir politiknya kian moncer hingga menjadi anggota DPR. 


Lalu dia diajak pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), Raden Mas Margono Djojohadikusumo (kakek Presiden Prabowo Subianto—red), untuk bergabung sebagai staf BNI pada 1956.




Setahun kemudian, Jusuf Muda Dalam diangkat menjadi salah satu direktur di BNI pada 1957. Pengangkatannya itu sesuai dengan Surat Menteri Keuangan No. 52/Skr/57 yang ditandatangani Ir Juanda tanggal 9 Maret 1957 dan Keputusan Presiden No. 104 Tahun 1957 yang ditandatangani Presiden Sukarno tanggal 3 April 1957.


Tiga tahun berkarir di bank milik pemerintah itu, pada 1 Desember 1959, Jusuf Muda Dalam diangkat menjadi Presiden Direktur BNI. Empat tahun kemudian, Jusuf Muda Dalam diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri Urusan Bank Sentral sekaligus Gubernur Bank Indonesia di Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora sejak 1963.


Jusuf Muda Dalam banyak melakukan restrukturisasi terhadap bank-bank yang berada di bawah naungan Bank Sentral dengan konsep ‘Panca Sakti Bank Berdjoeang’. 


Konsep tersebut merupakan kebijakan untuk merestrukturisasi dan mengintegrasikan seluruh bank-bank di Indonesia menjadi sistem bank tunggal. Tujuannya mendukung jalannya revolusi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno.


Namun perubahan sistem perbankan yang dilakukannya membuat pengawasan publik terhadap kondisi moneter negara menghilang. Akibatnya, pintu gerbang dana dan korupsi terbuka lebar. 


Kehidupan seorang Jusuf Muda Dalam dengan jabatan tersebut membuatnya terlena oleh dunia. Dia menumpuk harta dan memiliki banyak istri muda.


Sementara kondisi perekonomian masyarakat yang tengah didera kemiskinan sangat kontras dengan gaya hidupnya. Belum lagi situasi politik yang tak stabil dan suhunya memanas. 


Masa setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S), demonstrasi mahasiswa pada 1966, dan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), menjadi akhir karir seorang Jusuf Muda Dalam.


Menteri Utama/Menteri Panglima Angkatan Darat, Jenderal Soeharto, memerintahkan untuk menangkap 15 menteri Kabinet Dwikora pada 18 Maret 1966. 


Mereka yang ditangkap adalah yang memiliki hubungan dengan G30S, mereka yang kejujurannya dalam membantu presiden diragukan, dan mereka yang hidup amoral dan asosial di atas penderitaan rakyat.


Selain menangkap Jusuf Muda Dalam, ada 14 menteri lainnya yang juga ditangkapi, yaitu Subandiro (Waperdam I), Chaerul Saleh (Waperdam III), Achmad Hadisumarto (Menteri Penerangan), Sumarno Sosroatmodjo (Mendagri), Achmad Astrawinata (Menteri Kehakiman), Sutom Martipradoto (Menteri Perburuhan), Armunanto (Menteri Pertambangan).




Lalu Setiadi Reksoprodjo (Menteri Listrik dan Ketenagaan), Surachman (Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan Desa), Achadi (Menteri Transmigrasi dan Koperasi), Sumardjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan), Junius Kurami Tumakaka (Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional), Imam Sjafei (Menteri Khusus Keamanan) dan Oei Tjoe Tat (Menteri Negara).


Surat penangkapan dan penahanan Jusuf Muda Dalam dikeluarkan oleh Tim Pemeriksa Pusat Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada 18 April 1966. 


“Skandal Jusuf Muda Dalam ini bukan hanya skandal seks atau perkara korupsi biasa, melainkan skandal ini merupakan penggambaran daripada pribadi Orde Lama yang penuh dengan penyelewengan,” kata Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Jenderal Abdul Haris Nasution dalam pengantar buku ‘Anak Penjamun di Sarang Perawan (Skandal J.M.D)’ (1966).


Soeharto juga membentuk Tim Pemeriksa Keuangan Negara dan diketuai oleh K.P.H. Surjo Wirjohadiputro 30 April 1966. Hasil temuan tim ini cukup mencengangkan mengenai apa yang telah dilakukan Jusuf Muda Dalam. 


Pertama, selama menjabat kurun waktu 1964-1966, dia telah memberikan izin impor dengan cara Deferred Payment, yaitu penangguhan pembayaran hingga jangka waktu tertentu, dalam hal ini kredit luar negeri dalam jangka waktu setahun yang digunakan untuk mengimpor barang.


Totalnya mencapai 270 juta dollar AS, yang melebihi keadaan devisa negara. Uang itu ternyata dibagikan Jusuf Muda Dalam kepada perusahaan milik kroninya, yaitu PT Ratu Timur Raya (2 juta dollar AS), PT Mega (5 juta dollar AS), CV Tulus Djudjur (10 juta dollar AS), Barmansjah Trading Coy (5 juta dollar AS) dan CV Sitjintjin (5 juta dollar AS). Hal itu menyebabkan terjadinya insolvensi internasional.


Kedua, Jusuf Muda Dalam melakukan perbuatan memberikan kredit khusus tanpa adanya jaminan kepada sejumlah kroni badan usaha, dengan total Rp 338,402 miliar. Kredit tanpa agunan itu diberikan kepada PT Trisaria (Rp 1,6 miliar), PT Marindo (Rp 1,5 miliar), Sutjipto Danukusumo (Rp 770 juta), Massa Guna (Rp 500 juta) dan Jajasan Pulo Mas (Rp 774 juta). Akibat kredit tersebut menyebabkan defisit keuangan negara.


Ketiga, dalam kurun waktu tahun 1965, Jusuf Muda Dalam melakukan perbuatan penyelundupan senjata api dan amunisi dari Cekoslovakia tanpa izin. Dia menyelundupkan 400 pucuk senapan SMG; 900 pucuk pistol revolver kaliber 38; 100 pucuk pistol revolver kaliber 32; 100 pucuk pistol revolver kaliber 25; 100 ribu butir peluru kaliber 7,62 mm; 180 ribu butir peluru kaliber 38 mm; 51 ribu butir peluru kaliber 32 mm, dan 26 ribu butir peluru kaliber 25 mm. Walau kesemuanya baru setengahnya sampai ke Indonesia.


Keempat, Jusuf Muda Dalam menggelapkan dan korupsi kas negara atau Dana Revolusi sebesar Rp 97,3 miliar lebih di saat harga bensin senilai Rp 4 pada 1963 dan inflasi ekonomi sebesar 650 persen. Selain itu, dana dari sumbangan impor dengan cara Deferred Payment digelapkan dan disalurkan kepada PT (Rp 1 miliar), PT Peksin (Rp 5 miliar), PT Sumurung (Rp 200 juta), Indonesian Central Agencies (Rp 870 juta), PT Agence Centrale (Rp 500 juta) dan PT Bluntas (Rp 21,4 miliar).


Ada juga aliran dana yang disumbangkan kepada organisasi Musyawarah Besar Tani dan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia sebesar Rp 11 miliar, serta untuk memperkaya diri sendiri Rp 4,436 miliar. 


Akibat yang ditimbulkan yaitu secara langsung maupun tidak langsung secara signifikan telah menimbulkan kerugian bagi perekonomian negara.




Kelima, dalam kurun waktu tahun 1964–1966, Jusuf Muda Dalam menikahi enam istri muda yang menyalahi aturan perundang-undangan. Dia diketahui telah menikahi Sutiasmi binti Sujono, Salamah binti Abdullah Sani, Jajah binti Padma, Ida Djubaidah binti Abdul Somad, Djufriah binti Muchsin, dan Sari Narulita. Pernikahannya itu dianggap melanggar syariat Islam, yang hanya membatasi 4 orang saja.


Di dalam buku ‘Proses Peradilan Jusuf Muda Dalam ex Menteri Bank Sentral’ terbitan Kejaksaan Agung Bidang Chusus pada 1967, disebutkan, Soeharto menyerahkan berkas perkara Jusuf Muda Dalam kepada Jaksa Agung, Mayjen Sugih Arto, pada 13 Agustus 1966. 


Jaksa Agung mengumumkan telah membentuk Komando Penyelenggara Peradilan Subversi untuk menyidangkan perkara Jusuf Muda Dalam di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, pada 30 Agustus 1966.


Sidang korupsi Jusuf Muda Dalam dipimpin oleh Hakim Ketua Made Labde dan dibantu dua hakim anggota, yaitu E.D. Johannes dan Soetarno Soedja. 


Bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum adalah Anas Jakub dan pengacara tersangka adalah Soekardjo. Selama delapan bulan persidangan, kasus tersebut dihadirkan 175 orang saksi yang memberatkan dan meringankannya.


Pihak kejaksaan juga menyita sejumlah aset milik Jusuf Muda Dalam. Di antaranya, 3 mobil Fiat dan masing-masing 1 unit mobil merk Volkswagen, Opel Kapitean, Porsche. Lalu 6 rumahnya ikut disita yang berada di Jalan Wijaya VI (Jaksel), Jalan Cikajang (Jaksel), Jalan Menteng Wadas (Jaksel), di Cilandak (Jaksel), di Palmerah (Jakarta Barat), Kompleks BNI (Slipi, Jakarta Barat, dan sebidang tanah di Cililitan, Jakarta Timur.


Selama persidangan Jusuf Muda Dalam selalu membantah tuduhan yang dilayangkan jaksa penuntut umum dan penuh drama. Namun, akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta melalui surat keputusan Nomor 4001/1966 Pid Subv pada 9 September 1966 menjatuhi vonis mati kepada Jusuf Muda Dalam.


Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada 23 Desember 1966. Jusuf Muda Dalam juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, kasasi itu ditolak majelis hakim MA sesuai surat keputusan Nomor 15K/PID/1967, pada 8 April 1967. 


“Menghukum ia karenanya dengan hukuman mati,” kata majelis kasasi yang diketuai Surjadi dengan anggota Subekti dan M Abdurrachman.


Akhirnya Jusuf Muda Dalam diharuskan mendekam di dalam sel penjara di Cimahi, Jawa Barat, untuk menunggu waktu eksekusi mati. Hanya saja, ketika menunggu dihadapkan ke regu tembak, Jusuf Muda Dalam meninggal dunia akibat sakit tetanus pada 26 Agustus 1976.


Sumber: DetikX

Komentar