KONTROVERSI Jabatan Mayor Teddy: Mundur, Pensiun, atau Tetap Perwira TNI?
Perdebatan merebak soal kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet, Letkol Inf. Teddy Indra Wijaya.
Dia mendapat kenaikan pangkat dari Mayor ke Letnan Kolonel. Kelihatan biasa. Namun untuk mereka yang berada di militer ini sesuatu yang luar biasa.
Ini memang tidak biasa. Teddy adalah lulusan Akmil 2011. Kawan-kawan seangkatannya rata-rata masih berpangkat kapten.
Bahkan orang yang paling cemerlang di angkatannya dan peraih Adi Makayasa, Hendrik Pardamean Hutagalung, masih juga berpangkat kapten.
Tidak diragukan bahwa Teddy adalah perwira TNI yang punya prestasi. Ia berasal dari kesatuan Kopassus.
Ia juga pernah menjalani pendidikan sebagai US Army Rangers, yang terkenal sulit itu.
Namun, perjalanan karirnya tidak berwarna-warni. Ia tidak pernah memegang pasukan. Artinya, kepemimpinannya belum teruji.
Ia memang sempat diangkat menjadi wakil komandan batalyon 328/Dirgahayu, batalyon dimana Prabowo Subianto pernah menjadi komandannya. Namun, itu tidak dijalaninya.
Ketika itu, Prabowo yang masih menjadi menteri pertahanan tetap menginginkan Teddy sebagai ajudannya.
Jadilah karir Teddy sepenuhnya berada di lingkaran elit -- sebagai asisten ajudan Jokowi, dan kemudian sebagai ajudan menteri pertahanan, dilanjutkan dengan kedudukan sebagai Sekretaris Kabinet.
Selain itu, kritik juga dilontarkan karena Teddy tidak pernah masuk ke Sekolah Staff dan Komando - Angkatan Darat (Seskoad).
Ini adalah sekolah wajib untuk perwira TNI yang akan memegang tampuk kepemimpinan militer di masa depan. Kasarnya, ini adalah sekolah calon jendral.
Umumnya, mereka yang masuk ke Sesko adalah perwira berpangkat mayor. Sepengetahuan saya, belum ada satu pun kawan seangkatan Teddy yang ikut Seskoad.
Kenaikan pangkat yang sangat istimewa ini memancing kontroversi. Kasad Jendral Maruli Simajuntak dengan nada jengkel meminta agar persoalan ini tidak 'diintervensi.'
Bagi dia, kenaikan pangkat ini wajar karena kemampuan Teddy melakukan tugas mengkoordinasi pekerjaan presiden dengan baik.
Sementara, Panglima TNI Jendral Agus Subiyanto berkomentar agak lain. Dia mengatakan bahwa prajurit TNI yang bertugas di kementerian atau di lembaga-lembaga negara lainnya harus mengundurkan diri dari dinas TNI atau mengambil pensiun dini.
Bagaimanakah sebaiknya?
Persoalan ini menyentuh hubungan sipil-militer. Norma pada umumnya melakukan pemisahan antara dunia sipil dan militer.
Ini perlu dilakukan karena militer adalah alat negara yang memegang 'monopoli atas penggunaan kekerasan.' Sangat berbahaya bila alat kekerasan ini membuat keputusan-keputusan politik.
Militer tidak memiliki kepenting selain menjadi alat untuk mempertahankan eksistensi negara. Karena ia hanyalah alat maka harus ada penggunanya.
Dan itulah para politisi sipil yang kekuasaanya dikendalikan oleh rakyat yang memilihnya ke tampuk kekuasaan.
Oleh karena itu, dunia militer adalah dunia yang penuh simbol, tradisi, dan juga ritual. Ia memiliki hirarki yang ketat karena ia adalah mesin (alat) pertahanan. Bagian-bagiannya harus pas dan cocok untuk menjalankan mesin ini.
Berdasarkan pikiran ini, saya kira sikap Panglima TNI itu benar. Para prajurit yang duduk di jabatan-jabatan sipil harus mundur atau pensiun dini dari TNI.
Kasus Teddy menjadi contoh yang baik untuk mengilustrasikan betapa rumitnya posisi Teddy kalau ia masih menjadi anggota TNI. Hal itu juga dipertunjukkan di depan publik.
Soal menghormat misalnya. Bila Teddy melintas bersama Presiden, dan ada Panglima TNI (yang adalah seorang jendral -- jauh di atas pangkat Teddy), bagaimana Teddy harus bersikap?
Kedudukan sebagai sekretaris kabinet mengharuskan Teddy untuk tidak menghiraukan Panglima TNI. Namun ia adalah seorang mayor. Seharusnya dia memberi hormat.
Dalam dunia militer, ini adalah soal yang sakral. Karena kalau tidak, itu ibarat sekrup yang tidak kencang di dalam sebuah mesin.
Apapun yang terjadi, Teddy harus menghormat kepada jendralnya. Tidak saja kepada panglima TNI tapi juga kepada semua yang berpangkat diatasnya.
Demikian juga dengan Panglima TNI. Sebagai orang dengan hirarki tertinggi di dunia militer, dia bisa meminta Teddy untuk melakukan apa saja dalam kapasitasnya sebagai prajurit.
Kalau Panglima TNI mau, dia bisa minta Teddy keluar dari jabatan sekretaris kabinet, kembali menjadi Wadanyon atau menyuruhnya sekolah di Sesko. Namun Panglima TNI masih punya atasan yakni presiden yang bisa menganulir keputusannya itu.
Inilah ruwetnya hubungan sipil-militer jika tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Dalam hal ini, alangkah baiknya bila Teddy mundur dari dinas TNI. Dia menjadi orang sipil dengan jabatan sekretaris kabinet.
Bila Teddy adalah orang sipil, dia bisa bebas memanggil siapa saja. Dia tidak harus menghormat pada orang-orang yang pangkatnya di atasnya.
Jadi, dengan menjadi orang sipil, saya kira, itu akan baik untuk Teddy dan baik untuk TNI. Teddy tidak lagi terikat pada hirarki TNI dan para perwira TNI yang pangkatnya lebih tinggi tidak harus canggung berhadapan dengan orang di lingkaran paling dalam kekuasaan ini.
***
[FLACHBACK] Kontroversi Jabatan Mayor Teddy, Pakar HTN Ungkap 3 Kesalahan Yang Ditutupi-Tutupi
MURIANETWORK.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun blak-blakan menyoal aturan tentang keputusan Presiden Prabowo Subianto mengangkat Mayor Teddy Indra Wijaya menjadi sekretaris kabinet (seskab).
Masalah ini diulas Refly dalam program siniar Refly Harun Channel di YouTube, dilihat pada Rabu (23/10/2024).
Mulanya, pria yang pernah menjadi staf ahli di Kementerian Sekretariat Negara pada periode awal pemerintahan Presiden Joko Widodo itu menyinggung soal sumpah presiden dan wakil presiden.
"Sumpah presiden dan wakil presiden itu adalah menjalankan uu selurus-lurusnya. Nah, yang lurus itu adalah, penempatan Mayor Teddy, ya, harus lurus juga bro. Kalau enggak lurus, ya, susah banget kita ini," ujar Refly.
Penyandang gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Andalas itu bahkan menyebut kesalahan dalam penempatan Mayor Teddy tidak cuma satu.
"Jadi, kesalahan soal Mayor Teddy berlipat-lipat, walaupun mau ditutupi Istana, berlipat-lipat, dan korbannya banyak akhirnya," ujar Refly.
Refly menilai pembuat kebijakan pasti tidak menyangka bahwa keinginan mengangkat Mayor Teddy sesuai keinginan Presiden Prabowo, mengorbankan susunan organisasi yang sudah mapan.
"Kasihan, tuh, pejabat-pejabat eselonnya," kata pria kelahiran Palembang, 54 tahun lalu itu.
Selain itu, kata Refly, posisi Mayor Teddy juga mengorbankan pembagian tugas yang berjalan selama ini, sekarang diurus sendirian oleh sekretariat negara, padahal tugasnya masing-masing sudah jelas.
"Sekretariat negara menjalankan fungsi presiden sebagai kepala negara, kurang lebih demikian, sekretariat kabinet menjalankan fungsi sebagai kepala pemerintahan. Tetapi sekarang semua di-handle sekretariat negara, gara-gara Mayor Teddy. Jadi, enggak bisa begitu juga," tuturnya.
Menurut Refly, kalau ada kesalahan dalam penerapan undang-undang, maka akui saja. Jangan kemudian dibuat penyesuaian-penyesuaian.
"Ini, kan, persoalannya adalah, ingin memberikan jabatan kepada Mayor Teddy, tetapi pangkatnya baru mayor. Kalau disuruh pensiun, kasihan, karena masa jabatan cuma lima tahun, ya itu kalau seandainya dia tetap," kata Refly.
Refly lantas berpendapat ada tiga kesalahan soal pengangkatan Mayor Teddy yang sebelumnya berstatus ajudan Prabowo ketika menjabat Menteri Pertahanan.
Inilah 3 Kesalahan Pengangkatan Mayor Teddy Jadi Seskab:
1. Nama Mayor Teddy Diumumkan Bersamaan Nama Menteri
Menurut Refly, kesalahan pertama adalah Presiden Prabowo mengumumkan nama Teddy jadi seskab bersamaan dengan pengumuman pejabat menteri atau setingkat menteri.
"Jadi, kesalahan pertama, dia diumumkan bersamaan dengan menteri, karena menurut Perpres yang lama, itu yang namanya Seskab atau Sekab, itu setingkat menteri, fasilitasnya fasilitas menteri," kata Refly.
2. Mayor Teddy Dilantik Bersama Wakil Menteri
Kesalahan kedua menurut Refly Harun, Mayor Teddy dilantik bersamaan pelantikan wakil menteri, padahal jabatannya hanya setingkat eselon II.
"Eselon satu saja enggak masuk di situ, deputi-deputi, kok, ini eselon II, setingkat kepala biro, dia enggak masuk seharusnya di sana. Kan, bukan soal dia kesayangan Prabowo atau tidak, tetapi kita menegakkan aturan. Itu kesalahan kedua," kata Refly.
Masih dalam siniar itu, pelantikan bersama wakil menteri itu seolah-olah mengesankan Mayor Teddy itu setingkat wamen padahal bukan.
"Kalau eselon dua, tidak ada urusannya sama presiden. Pejabat yang diangkat presiden itu setidak-tidaknya eselon satu," sambungnya.
3. Mayor Teddy Tidak Pensiun dari TNI
Refly mengatakan kesalahan ketiga soal Mayor Teddy adalah terkait status sebagai anggota TNI.
"Kesalahan ketiga adalah dia tidak pensiun. Dia menduduki jabatan yang tidak disebutkan di dalam UU TNI," beber Refly.
Jebolah magister ilmu hukum Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan dalam UU TNI, jabatan yang bisa diduduki TNI aktif di luar institusi bersifat limitatif.
"Kecuali tugasnya sebagai ajudan, kalau sebagai ajudan beda lagi, itu istilahnya BKO. Jadi, permintaan kepada TNI AD untuk meminta ajudan," ujarnya.
Refly menyebut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI membatasi jabatan yang bisa dijabat tentara aktif di luar institusi pertahanan itu atau bersifat limitatif.
Contoh jabatan yang bisa diisi TNI aktif ada di Kemenko bidang Politik dan Keamanan (Polkam), atau di Kementerian Pertahanan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, Badan Siber dan Sandi Negara, atau di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
"Biasanya yang dikaryakan itu sudah Brigjen ke atas, kalau Brigjen ke bawah alias belum jenderal, biasanya militer aktif untuk jadi ajudan, bukan perpindahan, cuma ajudan saja," katanya.
Selain itu, TNI aktif juga bisa menjabat di Dewan Pertahanan Nasional (Wantannas), Basarnas, BNN, dan di Mahkamah Agung sebagai hakim militer. "Sudah, itu saja yang di luar lingkup TNI. Hanya bisa itu saja, limitatif," ucap Refly menegaskan.
Dia juga mengingatkan bahwa pembatasan itu karena UU TNI semangatnya untuk menghilangkan dwifungsi ABRI.
"Kalau sekarang misalnya, mau direvisi UU TNI agar kekaryaan kembali lagi, karena maunya begitu, ya, belum bisa dilakukan, belum selesai revisinya. Jadi, enggak bisa dilakukan," kata Refly.
Dia pun prihatin karena ada pernyataan-pernyataan yang coba menutupi kesalahan dalam penempatan Mayor Teddy.
"Ini memprihatinkan. Coba kita lihat pernyataan Hasan Nasbi, pernyataan Dasco, misalnya, itu semua menutup-nutupi kesalahan yang terjadi. Bayangkan, kok ada istilahnya sekretaris kabinet eselon dua, gimana cara organisasinya," tutur Refly.
Kemudian, dari penamaan-penamaan pun menurutnya ada ketidakkonsistenan. Di mana, sama-sama sekertaris, yang satu sekretaris militer dan satunya sekretaris kabinet, tetapi eselonsasi pejabatnya beda.
"Coba bayangkan, ada sekretaris militer, ada sekretaris kabinet, tetapi sekretaris kabinet cuma eselon dua, padahal sekretaris militer itu eselon IA," ucap Refly Harun.
Sumber: JPNN
Artikel Terkait
Mobil Mewah Ford Mustang hingga Alphard Milik Direktur Persiba Balikpapan Catur Adi Disita Polisi
Merespon Febri Diansyah yang Jadi Pengacara Hasto, Novel Baswedan: Kebangetan!
Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Ibu dan Anak di Tambora
KPK Gagal Endus Persembunyian Harun Masiku Gara-gara Hasto Perintahkan Kusnadi Rendam Ponsel