MURIANETWORK.COM - Seorang pengamat pertanian yang kerap melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan sektor pertanian kini tengah jadi sorotan.
Ia disebut mendadak bungkam setelah menerima proyek bernilai lebih dari Rp5 miliar dari Kementerian Pertanian, sebelum akhirnya kembali "berisik" ketika akses proyek terputus.
Kini, pengamat dari kampus ternama itu disebut sebagai musuh negara oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
Dalam pernyataan tegasnya di Jakarta, Kamis 17 April 2025 Mentan Amran menyebut pengamat tersebut terlibat dalam proyek fiktif di Kementerian Pertanian yang merugikan negara.
“Ada yang lobi saya untuk dimaafkan. Tidak! Ini atas nama rakyat. Bukan atas nama menteri,” ujar Amran.
Amran mengungkap, proyek fiktif itu bernilai sekitar Rp5 miliar. Barang yang seharusnya dibeli tidak digunakan, bahkan sebagian tanda tangan dalam dokumen disebut palsu.
“Kami telaah satu per satu komentar para pengamat. Tapi yang satu ini, kritiknya tidak konstruktif dan bahkan sering salah data. Ternyata, dia punya proyek di kementerian, yang sebagian hasilnya fiktif dan tidak digunakan,” tambahnya.
Mentan mengonfirmasi bahwa berkas kasus tersebut sudah diserahkan ke aparat penegak hukum. Ia bahkan menyebut pengamat tersebut berpotensi dijebloskan ke penjara.
“Saya tidak sebut nama, silakan cari sendiri,” ucapnya saat menghadiri Dies Natalis ke-49 Universitas Sebelas Maret (UNS) di Surakarta.
👇👇
TAGS
Mengarah ke Guru Besar IPB
TIM mencoba menelusuri jejak digital sosok yang dimaksud Mentan ternyata mengarah pada Guru Besar IPB, berinisial DAS.
DAS diduga sangat vokal mengkritik kebijakan pertanian. Namun, menurut sejumlah pengamat, kritik DAS dinilai sarat muatan politik dan tidak berbasis data.
Peneliti Indonesian Politic, Economic, and Policy Institute (IPEC), Bramantyo Bontas, menyebut kritik DAS cenderung tendensius.
“Setiap dia bicara, selalu ada muatan politik. Cara lama, publik juga sudah tahu,” ujarnya, Senin 6 Januari 2025.
Bontas mengatakan, program swasembada pangan era pemerintahan saat ini sudah jelas arahnya dan menunjukkan kemajuan signifikan.
Ia meminta agar kritik yang disampaikan harus proporsional dan berbasis fakta.
Hal senada diungkapkan pengamat politik dari Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik (PKPK), Saiful.
Saiful menyoroti bagaimana DAS sempat “mendadak bisu” saat menerima proyek senilai Rp5 miliar dari Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan tahun 2022.
“Saat proyek jalan, kritik mereda. Saat akses proyek ditutup, kritik kembali muncul,” ungkap Saiful.
Pada 2023, DAS kembali meneken kontrak proyek “Swakelola Pengembangan Lahan Pertanian Produktif” bersama Direktorat Perlindungan dan Penyediaan Lahan Kementan. Pola yang sama kembali terjadi.
Tak hanya itu, pada 2017, organisasi yang dipimpinnya, AB2TI, sempat menjalin kerja sama produksi benih padi dengan Balai Besar Padi Kementan.
Namun proyek yang dirancang berjalan tiga tahun itu, dihentikan di tahun pertama karena dinilai tidak siap dan gagal menjalankan tanggung jawab.
Saiful menilai, kritik DAS bukan bagian dari kontribusi membangun, melainkan lebih mirip manuver untuk menggiring opini.
“Jangan-jangan sekarang gaduh lagi demi panggung baru dan kembali dilibatkan dalam proyek bernilai besar,” pungkas Saiful.
Profesor Dwi Andreas Santosa Dinilai Kerap Bikin Gaduh dan Lontarkan Kritik Bermotif Pribadi
Guru Besar di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB),Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS, menjadi sorotan karena dinilai kerap melontarkan kritik yang tendensius dan memicu kegaduhan di sektor pertanian.
Kritik-kritik yang disampaikan Dwi Andreas Santosa yang punya keahlian di bidang genetika molekuler dan ilmu tanah terhadap kebijakan pemerintah dianggap tidak lagi murni sebagai kontribusi akademik, melainkan sebagai manuver bermuatan kepentingan pribadi.
Koordinator Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI), Debi Syahputra, tak ragu menyebut Dwi Andreas sebagai “provokator akademik” yang kerap menjadikan panggung publik sebagai alat tekanan demi kepentingan proyek.
Kritik-kritiknya dinilai tak lebih dari suara sumbang yang muncul saat akses terhadap proyek bernilai miliaran rupiah mulai tertutup.
“Kalau tidak lagi kebagian proyek, langsung ribut. Begitu dapat proyek, langsung senyap. Ini pola usang yang publik sudah bisa baca,” kata Debi seperti dikutip dari beberapa laman media online diantaranya TVonenews.com, Senin, 6 Januari 2025.
Menurut Debi, pada tahun 2022 Andreas pernah menerima proyek pemetaan komoditas hortikultura senilai lebih dari Rp5 miliar dari Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan.
Namun, begitu proyek itu berjalan, suara kritisnya menghilang dari publik.
Tahun berikutnya, ia kembali teken kontrak proyek swakelola lahan pertanian produktif. Kritik baru kembali terdengar ketika aliran proyek terhenti.
"Ini bukan kritik ilmiah. Ini permainan. Kritik jadi alat tawar-menawar," tegas Debi.
Tak hanya itu, Debi juga mengingatkan proyek gagal pada 2017, saat organisasi yang dipimpin Andreas—AB2TI—menjalin kerja sama dengan Balai Besar Padi Kementan.
Proyek itu dihentikan karena AB2TI dinilai tidak memahami standar pelepasan varietas padi. Hasil evaluasi menyebut: tidak layak dilanjutkan.
“Kalau rekam jejaknya seperti ini, lalu sekarang mendadak vokal soal swasembada pangan, motifnya jelas patut dicurigai,” lanjutnya.
Debi menegaskan, kritik yang dilontarkan Andreas bukan sekadar tidak membangun, tapi berbahaya.
Ia menuding Andreas berusaha menggiring opini publik untuk melemahkan program swasembada pangan yang tengah diperjuangkan keras oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman atas instruksi langsung Presiden Prabowo Subianto.
“Ini bukan ajang cari proyek. Ini soal ketahanan pangan bangsa. Kalau tidak bisa bantu, minimal jangan ganggu,” katanya.
Lebih jauh, AMPPI mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki semua proyek yang pernah melibatkan Andreas dan AB2TI.
Jika ditemukan penyimpangan, Debi menilai hukum harus ditegakkan.
“Jangan sampai proyek-proyek siluman jadi penyebab gaduhnya ruang publik. KPK harus turun tangan,” tegasnya.
Debi juga menyentil motif pribadi di balik kritik-kritik Andreas yang kerap bersifat provokatif dan melemahkan kebijakan negara.
Ia mengingatkan, swasembada pangan adalah amanat besar Presiden untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Kritik yang jujur lahir dari nurani. Tapi kalau yang lahir dari sisa proyek yang tak lagi mengalir—itu namanya kecewa pribadi, bukan suara rakyat,” tutup Debi.
Sumber: Sawitku
Artikel Terkait
MPR Harus Copot Wapres Gibran!
Tak Cuma Ijazah UGM, Ijazah SMA Jokowi Juga Ikut Digugat: Ini Deretan Fakta & Kejanggalan Yang Ditemukan!
TPUA Akan Lampirkan Bukti Baru Dugaan Ijazah Palsu Jokowi ke Bareskrim Pekan Depan, Apa Tuh?
Amien Rais Desak Jokowi Segera Seret Pihak Yang Ragu Ijazahnya ke Pengadilan: Biar Top Markotop!