Presiden Boleh Berkampanye, PP Muhammadiyah Keluarkan 6 Sikap

Monday, 29 January 2024
Presiden Boleh Berkampanye, PP Muhammadiyah Keluarkan 6 Sikap
Presiden Boleh Berkampanye, PP Muhammadiyah Keluarkan 6 Sikap

Jakarta, murianetwork.com- Pimpinan Pusat Muhammadiyah merespons pernyataan Presiden Joko Widodo terkait ucapannya mengenai presiden dan menteri boleh kampanye, boleh berpihak.

Lewat Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap
penting untuk mengambil sikap atas apa yang disampaikan oleh Presiden Joko
Widodo yang telah menimbulkan polemik ini.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo.
menegaskan, sikap ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggungjawab keummatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.

"Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata. Melainkan juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis," ujar Trisno Raharjo dalam rilis yang diterima murianetwork.com


Pertama, dari sudut pandang normatif. Adalah benar Pasal 299 ayat (1)
UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak
melaksanakan kampanye. Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat
(1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang
terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan
Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye. Pelaksanaan
kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang
memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus
dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.

Baca Juga: Panwascam Cimahi Selatan Pastikan Logistik Pemilu 2024 Aman

Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan
Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah
satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?
Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden
dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak
merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan
dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.

Kedua, dari sudut pandang filosofis. Presiden sebagai kepala negara
adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab
moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk

Pemilu. Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu
yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang
berintegritas. Selain itu, sebuah jabatan publik (terlebih Presiden yang
merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi) terikat
dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi. Pejabat publik disumpah
untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak
ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan.
Berdasarkan hal diatas, maka secara filosofis posisi Presiden adalah
pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan
untuk semua kontestan. Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas
untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat.

Ketiga, dari sudut pandang etis (dan teknis). Sumpah jabatan
penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kesetiaan ini harus diwujudkan
dalam segala aktivitasnya. Bahkan, meskipun Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi
Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik
pengusung. Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi
sebagai presiden dalam aktivitas apapun. Bahkan aktivitas keseharian
yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan
sekalipun. Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti
pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak
langsung “dianggap” oleh sebagian masyarakat sebagai “bantuan
Jokowi”. Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan
dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan
sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi"

Baca Juga: KPU Kota Bogor Rampung Terima Semua Surat Suara Pemilu 2024

Berdasarkan hal-hal di atas, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat
Muhammadiyah menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya
yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal
pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.

2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu
taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.
Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan
tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih
dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.

3. Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk
meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih
terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun
tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: fokussatu.id

Tags

Komentar

Artikel Terkait

Terkini