'Kian Masif dan Membesar, Bola Salju Gantung Mulyono!'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Adili Jokowi! Gantung Mulyono! Seruan itu menggema dalam aksi konvoi sekelompok orang yang mengendarai sepeda motor di depan kediaman Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (9/2/2025). Mereka menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak.
Jokowi adalah singkatan nama Joko Widodo. Adapun Mulyono adalah nama kecil Joko Widodo yang karena sakit-sakitan lalu nama Mulyono dihilangkan.
Bukan hanya seruan. Adili Jokowi juga menggejala dalam bentuk coretan di tembok-tembok atau ruang-ruang publik lainnya.
Tak hanya di Solo, coretan-coretan bernada desakan agar Jokowi diadili dalam kasus dugaan korupsi juga menggejala di sejumlah kota lainnya seperti Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.
Diyakini, gerakan yang mendesak agar Jokowi diadili akan kian masif dan makin lama makin membesar bak bola salju.
Maklum, sudah banyak pihak yang melaporkan Jokowi dan keluarganya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun sejauh ini lembaga antirasuah itu bergeming.
Misalnya, laporan yang disampaikan sejumlah akademisi dan aktivis yang tergabung dalam Nurani ’98 pada Selasa (7/1/2025) lalu.
Mereka meminta KPK menindaklanjuti laporan yang sebelumnya disampaikan pada 2022 dan 2024 terkait dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta pencucian uang oleh Jokowi dan keluarganya.
Dalam laporan tersebut, delegasi Nurani ’98 membawa sejumlah berkas dan data temuan baru, termasuk laporan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang menobatkan Jokowi sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia.
Pada Januari 2022 lalu, Ubedilah Badrun, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang baru saja dipecat dari jabatannya pernah melaporkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, anak sulung dan anak bungsu Jokowi ke KPK terkait dugaan pencucian uang (money laundering) yang melibatkan perusahaan PT SM, yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan pada 2015.
Dikutip dari sebuah sumber, perusahaan tersebut sempat dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan nilai ganti rugi Rp7,9 triliun, tetapi Mahkamah Agung hanya mengabulkan Rp78 miliar pada Februari 2019.
Ubedilah menuduh pada saat yang sama, Gibran dan Kaesang menjalin kerja sama bisnis dengan PT SM, menerima dana sebesar Rp99,3 miliar dalam dua kali transaksi, dan membeli saham senilai Rp92 miliar.
Sementara itu, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga telah dilaporkan ke KPK oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) terkait dugaan korupsi yang melibatkan bekas Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba. Bobby diduga menerima gratifikasi perusahaan tambang yang populer dengan sebutan Blok Medan.
Namun, KPK menganggap laporan demi laporan tersebut sumir.
Jika KPK terus bergeming, bukan tidak mungkin desakan agar Jokowi diadili atau Mulyono digantung akan kian masif di kota-kota di seluruh Indonesia. Termasuk di Solo yang merupakan kota kelahiran dan tempat tinggal Jokowi.
Desakan serupa pernah disampaikan rakyat dan mahasiswa di awal era Reformasi agar Presiden ke-2 RI Soeharto diadili.
Akhirnya Soeharto pun diajukan ke pengadilan kendati tidak ada keputusan, karena bekas penguasa rezim Orde Baru itu dinyatakan sakit permanen.
Apakah Jokowi juga sakit permanen? Sejauh ini tidak. Tidak tahu nanti. Mumpung belum sakit permanen, sudah semestinya KPK menindaklanjuti laporan-laporan yang menyangkut Jokowi dan keluarganya. Terkait barang bukti, tugas KPK untuk mencarinya, bukan si pelapor.
Jangan sampai rakyat main hakim sendiri. Konvoi sepeda motor di depan kediaman Jokowi di Solo sudah cukup membahayakan sosok yang semasa kecil bernama Mulyono itu.
Jangan biarkan rakyat mengadili Jokowi, atau menggantung Mulyono di Monas! ***
Artikel Terkait
Uchok: Erick Thohir Akali Prabowo soal Danantara
Lirik Lagu Bayar Bayar Bayar Sukatani Picu Kontroversi, Sindir Oknum Polisi Langgar Aturan!
LBP Wajib Diproses Hukum dan Dipenjarakan
SUPERIOR! Danantara Tak Bisa Diperiksa BPK dan KPK, Kebal Hukum?