Ketika Laut Diprivatisasi: 'Refleksi Kasus Pagar Laut PIK-2 dan Kritik Cak Nun'
Oleh: Wahyudi Nasution
Pegiat Pemberdayaan Masyarakat dan Seni-Budaya
Dalam sejarah dan mitologi, laut selalu dipandang sebagai simbol kebebasan, keberlimpahan, dan milik bersama.
Namun, apa yang terjadi di Pantai Indah Kapuk (PIK2) menunjukkan sisi kelam modernitas: laut tidak lagi menjadi milik publik, melainkan menjadi objek privatisasi, dikapling, bahkan dijual dengan harga fantastis.
Fenomena ini mencerminkan realitas baru yang menggambarkan kolaborasi kekuasaan, modal, dan birokrasi—sebuah pengingat tajam terhadap kritik-kritik sosial yang pernah disampaikan oleh Cak Nun.
Kolaborasi Firaun, Haman, dan Qarun Dalam Wujud Baru
Cak Nun, dalam ceramah-ceramahnya, sering menggunakan analogi Firaun, Haman, dan Qarun untuk menggambarkan relasi destruktif antara penguasa, teknokrat, dan kapitalis.
Dalam pandangan beliau, “Firaun” adalah simbol tirani kekuasaan; “Haman” adalah representasi dari kepatuhan teknokrat dan intelektual kepada kekuasaan yang salah; sementara “Qarun” adalah metafora untuk pengusaha yang terus menumpuk kekayaan dengan segala cara.
Kasus pagar laut PIK2 menunjukkan bahwa kolaborasi semacam itu tidak lagi sebatas teori.
Reklamasi besar-besaran yang dilakukan, penutupan akses masyarakat ke laut, dan masifnya iklan penjualan properti kepada investor asing mencerminkan bagaimana kepentingan modal besar dan kekuasaan dapat mengabaikan hak-hak publik.
Bahkan, praktik ini melampaui apa yang dilakukan Firaun yang asli dalam sejarah: Laut Merah tidak dipagari, diurug, atau dijual.
Privatisasi Laut: Ironi Modernitas
Laut adalah sumber daya bersama yang tidak boleh dimiliki secara eksklusif. Namun, pagar laut sepanjang 30,16 km di PIK2 mengubah laut menjadi ruang privat yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membeli.
Reklamasi ini, selain menimbulkan dampak lingkungan yang besar, juga mencerminkan pola pikir bahwa setiap jengkal ruang, bahkan laut sekalipun, dapat menjadi komoditas.
Privatisasi laut ini bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga sosial dan moral. Bagaimana mungkin sesuatu yang seharusnya menjadi milik bersama justru dirampas untuk kepentingan segelintir orang?
Ironi ini semakin menyakitkan ketika masyarakat sekitar, terutama nelayan tradisional, kehilangan akses ke laut yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Ketimpangan yang Mengakar
Kasus pagar laut PIK2 bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari pola yang lebih besar.
Dari reklamasi Teluk Jakarta hingga proyek serupa di berbagai wilayah Indonesia, kita melihat bagaimana pembangunan sering kali hanya menguntungkan pemodal besar sambil mengorbankan masyarakat kecil.
Di sinilah kritik Cak Nun menemukan relevansinya: ada sistem yang memungkinkan kolaborasi antara “Firaun,” “Haman,” dan “Qarun” untuk terus berjalan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial.
Pelajaran dari Kritik Cak Nun
Cak Nun selalu menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau sering mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh hanya menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang, tetapi harus memperhatikan hak-hak rakyat kecil.
Dalam konteks pagar laut PIK2, kita diingatkan bahwa pagar laut bukan hanya tentang tembok fisik, tetapi juga simbol dari bagaimana manusia modern telah kehilangan nilai-nilai luhur dalam memperlakukan alam dan sesamanya.
Jika beliau menyaksikan kasus ini, mungkin Cak Nun akan berkata bahwa tindakan seperti ini adalah cerminan dari sistem yang sudah terlalu jauh melampaui batas dan harus dihantikan.
Kita butuh suara-suara kritis seperti beliau untuk terus mengingatkan pentingnya menjaga harmoni antara pembangunan, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Kasus pagar laut PIK2 adalah pengingat bahwa kita perlu lebih kritis terhadap pola pembangunan yang merugikan masyarakat luas.
Perlu ada penguatan regulasi yang melindungi ruang publik, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan komitmen untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
Lebih dari itu, kita perlu kembali kepada prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan yang sering disuarakan oleh tokoh-tokoh seperti Cak Nun.
Pembangunan harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya pada modal besar.
Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa laut, dan sumber daya lainnya, tetap menjadi milik bersama untuk generasi mendatang.
(Teriring doa-doa terbaik untuk kesembuhan Cak Nun yang terus kami rindukan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah realitas yang semakin kompleks ini). ***
Artikel Terkait
Pemprov Jateng Bakal Berikan Tali Asih Bagi Penghafal Al-Quran 30 Juz
Bupati Purbalingga Janji Bantu Novi Vokalis Sukatani Cari Pekerjaan Baru Usai Dipecat Jadi Guru
Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: Nuansa Politik Yang Kentara
Saat Rakyat Teriak Adili, Habib Rizieq Shihab: Stop Presiden Prabowo Jangan Lindungi Jokowi Lagi!