Masih Soal 'Adili Jokowi', Apakah Cukup Hanya Berhenti di Graffiti?
Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Fenomena graffiti bertuliskan "Adili Jokowi" yang marak di berbagai kota Indonesia bukanlah sebuah kebetulan.
Ini bukan sekadar ekspresi spontan tanpa alasan, melainkan refleksi dari keresahan publik terhadap berbagai kebijakan dan tindakan selama satu dekade terakhir.
Pertanyaannya, apakah cukup jika protes ini hanya berhenti pada tembok-tembok kota, atau ada langkah lebih lanjut yang perlu dilakukan oleh rakyat Indonesia?
Graffiti Sebagai Ekspresi Publik, Bukan Sekadar "Belum Move-On"
Seperti pepatah "tidak ada asap tanpa api", kemunculan graffiti ini menunjukkan adanya keresahan kolektif. Jika hanya terjadi di satu atau dua kota, mungkin bisa dianggap sebagai aksi sporadis.
Namun, fakta bahwa tulisan "Adili Jokowi" muncul serentak di Solo, Yogyakarta, Medan, Malang, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya menunjukkan bahwa banyak pihak merasa dirugikan oleh kebijakan yang diambil selama pemerintahan Jokowi.
Namun, ada upaya untuk membelokkan makna dari graffiti ini.
Dalam wawancara eksklusif dengan Najwa Shihab di YouTube Mata Najwa, Jokowi menyebut aksi ini hanya sebagai bentuk "ekspresi kalah Pilpres" dan "belum move-on". Pernyataan ini jelas mengecilkan esensi dari protes yang sedang berlangsung.
Jika graffiti ini sekadar reaksi terhadap hasil Pilpres, mengapa gelombang ketidakpuasan terus mengalir bahkan sebelum pemilu?
Dari Politik Dinasti hingga Pelemahan Demokrasi
Alasan utama di balik desakan untuk mengadili Jokowi adalah sederet kebijakan yang dinilai merugikan bangsa.
Netizen bahkan merangkum berbagai dosa politik Jokowi dalam 66 poin, yang beberapa di antaranya mencerminkan permasalahan serius:
1. Politik Dinasti dan Nepotisme – Keterlibatan keluarga Jokowi dalam politik semakin mencolok. Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto, Bobby Nasution maju sebagai Gubernur Sumatera Utara, dan Kaesang Pangarep sempat disebut akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Semua ini memicu kritik bahwa demokrasi Indonesia telah bergeser menuju oligarki keluarga.
2. Pelemahan KPK – Revisi UU KPK yang disahkan di era Jokowi dinilai mengurangi independensi lembaga antirasuah ini. Banyak kasus besar yang sebelumnya ditangani dengan tegas kini tampak menguap begitu saja.
3. Pembungkaman Kritik Publik – Penggunaan UU ITE secara selektif untuk membungkam kritik menjadi sorotan. Beberapa aktivis, akademisi, hingga jurnalis yang mengkritik pemerintah justru terjerat kasus hukum.
4. Pemindahan Ibu Kota yang Kontroversial – Proyek IKN di Kalimantan Timur dikritik sebagai kebijakan ambisius yang tidak sesuai janji kampanye awal dan membebani anggaran negara.
5. Kebijakan Ekonomi dan Utang Negara – Selama pemerintahan Jokowi, utang negara melonjak drastis. Meski diklaim untuk pembangunan infrastruktur, efektivitasnya masih dipertanyakan.
6. Represi terhadap Demonstran – Aksi demonstrasi yang menolak kebijakan kontroversial kerap dihadapi dengan tindakan represif aparat. Ini menunjukkan adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Bahkan, laporan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) sempat menobatkan Jokowi sebagai finalis dalam daftar pemimpin paling korup di dunia.
Belum lagi kontroversi soal keaslian ijazahnya yang hingga kini masih dipertanyakan.
Adili Jokowi: Sekadar Graffiti atau Perlu Tindakan Nyata?
Pertanyaannya, apakah cukup jika tuntutan "Adili Jokowi" hanya berhenti pada graffiti dan demonstrasi?
Apakah rakyat harus kembali melakukan people power seperti aksi 22 Agustus 2025 yang berhasil menggagalkan skenario politik yang dinilai merugikan demokrasi?
Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuatan rakyat bisa membawa perubahan.
Namun, apakah kali ini rakyat Indonesia akan berhenti pada tembok-tembok kota, atau melangkah lebih jauh untuk menuntut pertanggungjawaban nyata?
Satu hal yang pasti, rakyat punya batas kesabaran. Dan seperti kata pepatah, "Gusti Allah SWT tidak sare". ***
Artikel Terkait
Bupati Purbalingga Janji Bantu Novi Vokalis Sukatani Cari Pekerjaan Baru Usai Dipecat Jadi Guru
Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: Nuansa Politik Yang Kentara
Saat Rakyat Teriak Adili, Habib Rizieq Shihab: Stop Presiden Prabowo Jangan Lindungi Jokowi Lagi!
Ini Yang Ditunggu! Connie Bakrie Ungkap Akan Bongkar Dokumen Skandal Rahasia Pejabat Jika Diizinkan Hasto