Pejuang Yang Bersekutu Dengan Musuh: Prabowo dan Jokowi Dalam Bayangan Pengkhianatan

- Jumat, 14 Februari 2025 | 23:55 WIB
Pejuang Yang Bersekutu Dengan Musuh: Prabowo dan Jokowi Dalam Bayangan Pengkhianatan


Pejuang Yang Bersekutu Dengan Musuh: 'Prabowo dan Jokowi Dalam Bayangan Pengkhianatan'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ketika Prabowo Subianto mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 dan 2019, ia berdiri sebagai lawan utama Joko Widodo. 


Dalam dua pertarungan itu, Prabowo tampil sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi yang dianggap merugikan rakyat. 


Namun, setelah kekalahannya yang kedua, Prabowo memilih jalan yang mengejutkan: ia bergabung dengan pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. 


Keputusan ini tidak hanya mengecewakan para pendukungnya, tetapi juga menjadi ironi politik yang mencolok.


“Orang yang berjuang demi kebebasan tetapi bersekutu dengan penindas, pada akhirnya hanya memperpanjang perbudakan.” 


Kutipan anonim ini menggambarkan kondisi yang terjadi pada Prabowo. Ia, yang dulu dianggap sebagai simbol perjuangan bagi rakyat yang kecewa dengan kepemimpinan Jokowi, kini justru menjadi bagian dari sistem yang ia lawan. Banyak yang merasa dikhianati oleh keputusannya, karena mereka melihat bahwa persekutuannya dengan Jokowi tidak membawa perubahan, melainkan justru memperpanjang status quo yang selama ini dikritiknya.


Lebih jauh lagi, kebersamaan Prabowo dan Jokowi di pemerintahan mencerminkan pepatah Spanyol: “Siapa yang tidur dengan anjing, jangan heran jika bangun dengan kutu.” 


Prabowo yang dulu menuding Jokowi sebagai pemimpin yang gagal, kini justru menjadi bagian dari pemerintahan yang sama. 


Alih-alih membawa perubahan, ia justru larut dalam politik transaksional yang menjadi ciri khas era Jokowi. 


Rakyat yang dulu mempercayainya kini mempertanyakan kredibilitasnya, apakah ia benar-benar memiliki prinsip atau hanya seorang oportunis.


Lebih ironis lagi, Prabowo tampak begitu setia pada Jokowi hingga ia bahkan tidak ingin dipisahkan darinya. 


Ia mendukung berbagai kebijakan kontroversial yang justru menyakiti rakyat, dari proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang penuh masalah hingga kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil. 


Dalam perspektif strategi perang, “Ketika seseorang bersekutu dengan musuhnya demi keuntungan sementara, dia telah menyiapkan kehancurannya sendiri.” (Sun Tzu, parafrase). 


Keputusan Prabowo untuk bergabung dengan Jokowi bisa jadi merupakan kesalahan terbesar yang akan menghancurkan kepercayaan publik terhadapnya.


Di sisi lain, pengkhianatan ini bukan hanya milik Prabowo. Jokowi sendiri, yang dulu berjanji akan menjadi pemimpin yang berpihak pada rakyat, kini justru lebih berpihak pada oligarki dan kepentingan segelintir elite. “Berkhianat sekali, diragukan selamanya.” 


Kutipan ini seolah menegaskan bahwa Jokowi tidak hanya mengkhianati rakyat yang memilihnya, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. 


Kebijakannya yang semakin jauh dari janji kampanye, termasuk upaya memperpanjang dinasti politiknya, semakin membuktikan bahwa ia telah berpaling dari amanah rakyat.


Sebagai penutup, ada satu pelajaran besar yang bisa diambil dari fenomena ini: “Lebih baik kalah dengan terhormat daripada menang dengan menjual prinsip.” (Mahatma Gandhi, parafrase). 


Prabowo mungkin merasa bahwa dengan bersekutu dengan Jokowi, ia dapat membayar hutang budi, yang telah all out membantunya memenangkan Pikpres 2024 yang lalu.  


Namun, apa artinya kemenangan jika harus mengorbankan integritas dan kepercayaan rakyat? 


Politik adalah tentang pilihan, dan Prabowo telah memilih untuk berada di sisi yang salah dalam sejarah. 


Rakyat mungkin tidak akan melupakan pengkhianatan ini, dan ketika saatnya tiba, mereka akan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang telah mengecewakan bangsa ini. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar