Mungkinkah Mantan Presiden Joko Widodo Dibawa ke Meja Hijau Untuk Kasus PIK-2?

- Sabtu, 15 Februari 2025 | 00:05 WIB
Mungkinkah Mantan Presiden Joko Widodo Dibawa ke Meja Hijau Untuk Kasus PIK-2?


Mungkinkah Mantan Presiden Joko Widodo Dibawa ke 'Meja Hijau' Untuk Kasus PIK-2?


Oleh: Djoko Subinarto

Kolumnis


TERBITNYA Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) di atas laut terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 telah memicu kontroversi besar.


Sebagaimana luas diwartakan, PSN PIK 2 menjadi sorotan usai kemunculan pagar 30 kilometer di laut Kabupaten Tangerang. 


Dua perusahaan pemilik SHGB di atas pagar laut Tangerang berkaitan dengan grup bisnis pengelola PIK 2.


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, seperti dikutip CNN Indonesia, menyebut pemerintah akan mengevaluasi semua PSN, salah satunya, Proyek pengembangan Green Area dan Eco-City di kawasan PIK 2 yang berlokasi di Provinsi Banten.


Hal tersebut setidaknya sejalan dengan apa yang disampaikan Ombudsman Perwakilan Banten yang telah mengusulkan kepada Ombudsman RI dan pemerintah untuk mengevaluasi PSN PIK 2.


Salah satu buntut dari kisruh kasus ini, sebagian kalangan lantas menyerukan agar mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, yang lebih beken disapa Jokowi, diadili. 


Mereka menilai mantan presiden tersebut terlibat secara langsung atau setidaknya mengetahui proses penerbitan sertifikat di atas laut yang dianggap tidak sesuai dengan regulasi.


Pertanyaannya adalah: mungkinkah seorang mantan presiden diajukan ke meja hijau berdasarkan kasus seperti ini?


Presiden, maupun mantan presiden, sejatinya bukanlah figur atau sosok yang kebal hukum. Secara prinsip, hukum tidak pernah pandang bulu. 


Artinya, ia harus diterapkan kepada semua individu, terlepas dari jabatan atau status yang sedang atau pernah disandangnya.


Dalam sistem hukum Indonesia, siapa pun dapat diajukan ke meja hijau – jika bersalah. 


Maka, seorang mantan kepala negara dapat saja diajukan ke depan pengadilan apabila terbukti terlibat dalam tindak pidana, baik selama masa jabatannya maupun setelah berakhir jabatannya.


Pasal 7B UUD 1945 mengatur mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden selama menjabat. 


Adapun untuk mantan presiden, proses hukum yang berlaku sama seperti warga negara biasa.


Akan tetapi, proses hukum terhadap mantan presiden tentu saja membutuhkan bukti yang kuat dan tidak bisa sekadar berdasarkan asumsi-asumsi atau cuma sekadar tekanan-tekanan politik.


Terkait kasus PIK 2, apakah penerbitan SHGB di atas laut itu memang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada? 


Jika terbukti ada pelanggaran hukum, siapa pihak yang paling bertanggung jawab secara langsung? 


Dalam hal ini, perlu ada penelusuran serta kajian mendalam dan komprehensif untuk memastikan apakah proses tersebut murni kesalahan administratif atau memang ada unsur kesengajaan melawan hukum.


Bagaimanapun, menuduh mantan presiden terlibat tindakan melawan hukum tanpa bukti konkret adalah langkah yang berisiko. 


Harus dibedakan antara kebijakan umum yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mendorong proyek strategis nasional dengan keputusan-keputusan administratif yang diambil oleh kementerian terkait atau pejabat tertentu.


Jika kasus penerbitan SHGB di atas laut ini pada ujungnya benar-benar dibawa ke ranah hukum, penting untuk memastikan ihwal proses yang transparan dan bebas dari kepentingan politik. 


Hukum sama sekali tidak boleh digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan atau membangun opini publik yang menyesatkan.


Proyek PSN seperti PIK 2 bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi. 


Namun, proyek-proyek besar, dengan kucuran duit yang besar pula, sering kali menjadi sumber kontroversi dan sumber korupsi karena melibatkan banyak kepentingan, baik politik maupun ekonomi.


Penerbitan SHGB di atas laut dalam proyek ini dapat menjadi preseden buruk jika tidak ditangani dengan baik. 


Jika memang benar telah terjadi pelanggaran dalam kasus ini, harus dipastikan siapa pihak-pihak yang paling bertanggung jawab. 


Apakah ini merupakan kebijakan pemerintah pusat yang cacat sejak awal, atau justru terjadi penyalahgunaan wewenang di level administratif? Ini yang harus benar-benar dipastikan dan dibuka kepada publik.


Kembali ke pertanyaan awal: Mungkinkah mantan Presiden Joko Widodo diajukan ke meja hijau? 


Secara hukum, itu mungkin. Namun, tanpa bukti yang cukup dan proses hukum yang jelas, tuduhan seperti ini lebih berpotensi menjadi manuver politik ketimbang upaya penegakan hukum.


Yang paling penting dilakukan adalah memastikan bahwa setiap proses hukum berjalan secara adil, transparan, dan tidak digunakan sebagai alat politik atau alat kekuasaan.


Kira-kira begitu, Den Mas. ***

Komentar