Saat Rakyat Menggemakan ‘Adili Jokowi’, Prabowo Teriak ‘Hidup Jokowi’: Loyalitas Presiden Kepada Siapa?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Sorak-sorai rakyat yang menuntut keadilan menggema di jalanan. Isu penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, dan berbagai kebijakan yang dinilai merugikan bangsa menjadi bahan utama tuntutan mereka.
Sementara itu, di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto—seorang jenderal yang kini menjabat sebagai pemimpin sipil—justru dengan lantang meneriakkan “Hidup Jokowi!” dalam acara HUT Gerindra.
Sebuah ironi yang menimbulkan pertanyaan: benarkah ini sikap seorang pemimpin yang seharusnya membela kepentingan rakyat?
Prabowo, yang dahulu dikenal sebagai sosok kritis terhadap kebijakan Jokowi dan bahkan menjadi rival dalam dua kali pemilu, kini justru menunjukkan sikap yang kontras.
Teriakan “Hidup Jokowi” dalam forum resmi partainya menimbulkan pertanyaan: apakah ini bentuk loyalitas tulus atau hanya sekadar kepentingan politik untuk menjaga harmoni dengan kekuasaan?
Dalam politik, perubahan sikap bukanlah hal baru, tetapi ketika seorang pemimpin yang berlatar belakang militer memilih untuk memuji sosok yang sedang dipertanyakan oleh rakyat, maka muncul pertanyaan besar tentang integritas dan prinsip yang dipegangnya.
Sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia, Prabowo seharusnya memahami makna tanggung jawab terhadap rakyat.
Sikapnya yang terkesan membela Jokowi, meski banyak dugaan pelanggaran hukum dan moral yang diarahkan kepada sang presiden sebelumnya, menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang berharap pada perubahan. Rakyat yang turun ke jalan menuntut keadilan bukan tanpa alasan.
Berbagai kebijakan yang dianggap menyimpang, mulai dari pembangunan IKN yang sarat kontroversi, dugaan pelanggaran hukum dalam berbagai proyek, hingga intervensi politik yang mencederai demokrasi, menjadi alasan utama tuntutan pengadilan bagi Jokowi.
Dalam sejarah kepemimpinan dunia, banyak jenderal yang beralih menjadi pemimpin sipil dan menunjukkan keberpihakan yang tegas kepada rakyat.
Sebut saja Dwight D. Eisenhower di Amerika Serikat atau Charles de Gaulle di Prancis, yang menegaskan bahwa kepemimpinan sipil bukan hanya soal loyalitas terhadap individu, tetapi pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Maka, ketika Prabowo justru memilih untuk meneriakkan “Hidup Jokowi” alih-alih bersikap netral atau mendengar aspirasi rakyat, timbul pertanyaan besar: apakah ini keputusan berdasarkan nurani atau sekadar strategi politik demi menjaga kestabilan kekuasaan?
Seorang pemimpin, terlebih yang memiliki latar belakang militer, seharusnya memahami bahwa loyalitas sejati bukan kepada individu, melainkan kepada negara dan konstitusi.
Jika rakyat merasa terkhianati oleh kebijakan seorang pemimpin, tugas seorang pemimpin sipil adalah merespons dengan kebijaksanaan, bukan dengan slogan yang hanya memperkeruh situasi.
Jika Prabowo tetap bersikeras membela Jokowi di tengah gelombang tuntutan rakyat, maka ia sedang mempertaruhkan legitimasi kepemimpinannya di masa mendatang.
Kesimpulannya, sikap Prabowo yang berteriak “Hidup Jokowi” di tengah seruan rakyat yang meminta keadilan atas kepemimpinan Jokowi adalah gambaran nyata dari politik kepentingan.
Seorang jenderal yang beralih menjadi pemimpin sipil seharusnya berdiri di atas kepentingan bangsa, bukan individu.
Jika benar Prabowo ingin dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang adil, maka ia harus lebih mendengarkan suara rakyat, bukan hanya suara kekuasaan.
Karena pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai dan menentukan masa depan seorang pemimpin. ***
Prabowo: Kita Berhasil Karena Didukung Oleh Presiden Ke-7, Hidup Jokowi! pic.twitter.com/XRtq4hda6p
— Jejak digital. (@ARSIPAJA) February 15, 2025
Artikel Terkait
Perpustakaan ITB Mendadak Tutup Imbas Efisiensi Anggaran, Publik Singgung IPK Wapres Gibran: Gamau 2,3 Sendirian!
Soal Indonesia Gelap, Gibran Ditantang Temui Mahasiswa yang Demo: Jangan Ketemu sama Anak SD Mulu
Jatuh di Acara Bersama Prabowo, Menag Nasaruddin Umar Harus Dioperasi
Prabowo Ingatkan Potensi Kecurangan Dapur MBG: Minyak Goreng Dipakai Sampai Hitam