Ternyata Ini Paradox Indonesia: OCCRP Jokowi Terkorup Dua Dunia, Gerindra Bersorak “Hidup Jokowi!”
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit yang membingungkan.
Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang dikenal luas dalam mengungkap skandal korupsi global, menominasikan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin paling korup nomor dua di dunia.
Sementara itu, dalam peringatan HUT Partai Gerindra, para kadernya dengan penuh semangat, mengikuti kamandoan Sang Ketum-Prabowo, berteriak “Hidup Jokowi!” berkali-kali. Sebuah paradoks yang mencerminkan absurditas politik Indonesia.
Kontradiksi dalam Realitas Politik
Dalam sistem demokrasi yang sehat, pengakuan dari lembaga internasional seperti OOCRP seharusnya menjadi peringatan serius bagi masyarakat dan elit politik.
Namun, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya: mereka yang mestinya menjadi oposisi atau setidaknya memiliki sikap kritis terhadap kekuasaan malah membangun kultus terhadap Jokowi.
Gerindra, yang awalnya dikenal sebagai lawan politik Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019, kini justru menjadi pendukung setianya.
OOCRP tidak serta-merta memberikan label “pemimpin terkotor” tanpa dasar. Mereka menyusun daftar tersebut berdasarkan laporan investigasi jurnalisme independen, yang menunjukkan bagaimana kekuasaan Jokowi dipenuhi konflik kepentingan, nepotisme, serta dugaan korupsi yang semakin menggurita di berbagai sektor.
Dari proyek IKN hingga monopoli bisnis keluarga, semua menjadi catatan hitam dalam pemerintahan Jokowi.
Namun, ironisnya, realitas ini tidak cukup untuk menyadarkan sebagian masyarakat dan elit politik bahwa ada masalah serius dalam pemerintahan ini.
Gerindra sebagai The Ruling Party: Politik tanpa Prinsip?
Saat ini, Gerindra telah menjadi partai penguasa dengan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Berada di puncak kekuasaan, Gerindra justru semakin dekat dengan Jokowi dan mendukung kebijakan-kebijakan yang sebelumnya mereka kritik.
Sorakan “Hidup Jokowi!” dalam HUT Gerindra menjadi bukti bahwa politik di Indonesia bukan lagi soal prinsip, tetapi soal kepentingan pragmatis.
Sebagai ruling party, Gerindra kini memiliki akses luas terhadap berbagai kebijakan negara.
Namun, apakah ini berarti bahwa seluruh kader dan pendukung Gerindra benar-benar menerima kenyataan bahwa mereka kini menjadi bagian dari mesin politik yang dulu mereka lawan?
Apakah transformasi Gerindra menjadi partai penguasa hanya demi kepentingan kekuasaan semata?
Rakyat di Persimpangan: Menelan atau Melawan Paradox?
Masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada dilema besar. Di satu sisi, dunia internasional menunjukkan dengan jelas bahwa pemerintahan Jokowi sarat dengan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, di sisi lain, sebagian besar elit politik justru terus membangun citra Jokowi sebagai pemimpin yang sukses dan layak didukung.
Propaganda yang masif, kontrol terhadap media, dan kooptasi terhadap partai politik membuat realitas yang ada semakin buram.
Jika Indonesia terus membiarkan paradoks ini terjadi, maka demokrasi yang selama ini diperjuangkan akan semakin kehilangan maknanya.
Sebaliknya, jika rakyat memilih untuk bersuara dan melawan kultus kepemimpinan yang tidak sehat ini, maka ada harapan bagi masa depan politik yang lebih bersih dan berintegritas.
Pada akhirnya, pertanyaan terbesar adalah: Apakah Indonesia masih punya keberanian untuk menghadapi kebenaran, atau kita akan terus larut dalam paradoks yang semakin menjauhkan kita dari keadilan dan kesejahteraan sejati? ***
Prabowo: Kita Berhasil Karena Didukung Oleh Presiden Ke-7, Hidup Jokowi! pic.twitter.com/XRtq4hda6p
— Jejak digital. (@ARSIPAJA) February 15, 2025
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Kaesang Dikabarkan Bakal Duduki Posisi Strategis Danantara, Jokowi Family Makin Menyala
Massa Aksi Indonesia Gelap Kritik Pembredelan Band Sukatani, Polisi Diminta Diam: Bapak Bicara Kami Makin Geram
Satgas Damai Cartenz Selidiki Pemasok Amunisi ke KKB Yalimo
Twister Angel, Vokalis Band Sukatani Ternyata Guru Sekolah Islam