Daya Dukung Politik Bukan Ukuran Keberhasilan: “Menyoroti Kekeliruan Pernyataan Jokowi”

- Senin, 17 Februari 2025 | 23:45 WIB
Daya Dukung Politik Bukan Ukuran Keberhasilan: “Menyoroti Kekeliruan Pernyataan Jokowi”


Daya Dukung Politik Bukan Ukuran Keberhasilan: “Menyoroti Kekeliruan Pernyataan Jokowi”


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuat pernyataan kontroversial dengan menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto merupakan pemimpin terkuat di dunia saat ini, didukung oleh rakyat dan parlemen dalam tingkat yang sangat tinggi. 


Pernyataan ini disampaikan dalam peringatan HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 15 Februari 2025. 


Jokowi menegaskan bahwa dalam 100 hari pemerintahan Prabowo, tingkat kepuasan publik mencapai 80,9 persen dan dukungan parlemen melampaui 80 persen. 


Namun, apakah dukungan politik yang besar dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pemerintahan? Sejarah menunjukkan bahwa tidak demikian.


Dukungan Tinggi Tidak Menjamin Keberhasilan

Dukungan politik dan tingkat kepuasan yang tinggi di awal pemerintahan sering kali tidak berbanding lurus dengan keberhasilan dalam menjalankan roda pemerintahan. 


Jokowi sendiri pernah menikmati dukungan publik yang sangat tinggi, bahkan mencapai lebih dari 75% pada periode keduanya. 


Namun, hasil akhirnya justru menunjukkan kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.


Dalam masa pemerintahannya, Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi yang signifikan, dengan utang luar negeri yang terus membengkak, inflasi yang membebani rakyat, dan investasi yang tidak memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan. 


Selain itu, korupsi semakin merajalela, dengan banyaknya kasus yang melibatkan pejabat tinggi, termasuk kasus-kasus besar yang melibatkan lingkungan pemerintahan Jokowi sendiri.


Yang lebih mengkhawatirkan, nepotisme menjadi ciri khas kepemimpinan Jokowi, di mana keluarganya semakin menguasai posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan dunia usaha. 


Anak dan menantu Jokowi mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, memperlihatkan bahwa dinasti politik semakin menguat di Indonesia. 


Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang seharusnya menolak praktik kekuasaan yang diwariskan secara tidak transparan.


Pelanggaran Hukum dan Penilaian Dunia

Di samping itu, pelanggaran hukum yang semakin marak juga menjadi bukti bahwa dukungan politik yang tinggi tidak menjamin supremasi hukum dan keadilan bagi rakyat. 


Hukum seolah menjadi alat untuk membungkam kritik, sementara para pejabat yang berkuasa semakin kebal dari jerat hukum.


Bahkan, secara internasional, kredibilitas Jokowi juga tercoreng dengan laporan dari OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) yang menempatkannya sebagai sosok terkorup nomor dua di dunia. 


Ini menjadi tamparan keras bagi klaim keberhasilan pemerintahannya dan menunjukkan bahwa persepsi internasional terhadap kepemimpinannya tidak sejalan dengan citra yang ingin dibangun di dalam negeri.


Ironi Pernyataan Jokowi

Jokowi berkelakar bahwa saking kuatnya Prabowo, tidak ada yang berani mengkritiknya, dan jika ada masalah, justru dirinya yang disalahkan. 


Pernyataan ini menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab dan cenderung menghindari evaluasi atas kesalahan masa lalu. 


Padahal, banyak permasalahan yang diwariskan dari era kepemimpinannya masih membebani pemerintahan yang baru, termasuk berbagai kebijakan kontroversial seperti pemindahan ibu kota negara yang menelan anggaran besar tanpa kejelasan manfaat bagi rakyat banyak.


Maka, klaim Jokowi bahwa Prabowo adalah presiden terkuat di dunia hanya karena dukungan politik yang besar adalah klaim yang tidak berdasar. 


Sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan politik yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan keberhasilan dalam memimpin negara. 


Justru, semakin kuat kekuasaan tanpa kritik yang sehat, semakin besar risiko penyalahgunaan wewenang yang merugikan rakyat.


Kesimpulan


Sebagai seorang pemimpin yang pernah berkuasa selama satu dekade, Jokowi seharusnya lebih bijak dalam menilai keberhasilan seorang pemimpin. 


Ukuran keberhasilan tidak terletak pada dukungan politik semata, melainkan pada dampak nyata yang dirasakan oleh rakyat. 


Jika kita berkaca dari masa kepemimpinan Jokowi sendiri, dukungan yang tinggi bukan jaminan keberhasilan, melainkan bisa menjadi topeng bagi kegagalan yang disembunyikan. 


Oleh karena itu, masyarakat harus tetap kritis terhadap setiap klaim keberhasilan yang tidak didukung oleh realitas di lapangan, termasuk dalam menilai pemerintahan Prabowo ke depan. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar