Pada saat bersamaan mahasiswa se-Indonesia (BEM SI) turun kejalan diberbagai kota meneriakkan yel-yel "Lawan Prabowo!". Mereka menuntut adili Jokowi, batalkan Inpres efisiensi anggaran, transparansi pembangunan dan MBG, dan tolak dwifungsi TNI. Aksi sebesar ini memberi pertanyaan, "ada apa rezim se usia jagung sudah di demo?"
Ada 3 hal yang perlu kita dalami melalui fenomena kritik terhadap Prabowo tersebut. Kenapa terlalu cepat gerakan anti Prabowo? Pertama, basis analisis yang salah. Kedua, adanya kelompok kontra revolusioner dan ketiga, perlunya "barisan ideologis Prabowo".
Sebagian intelektual menganalisis secara salah. Basis analisis yang salah terjadi ketika Prabowo melakukan pemujian pada Jokowi (teriakan Hidup Jokowi!), ucapan "Ndasmu" dan rencana penempatan Jokowi pada Danantara (badan aset raksasa) dianggap sebagai substansi. Padahal analisis berbasis material menunjukkan bahwa semua kebijakan Prabowo selama ini kontra 180° terhadap Jokowi.
Kaum cendikiawan strukturalis sejak lama melihat fenomena berbasis fakta material. Artinya ada fenomena ekonomi di dalamnya. Ada pilihan pemihakan. Dalam kasus Prabowo, apapun yang jadi kebijakannya selama ini jelas dan terang benderang mematahkan dominasi oligarki alias konglomerat rakus, yang selama ini berkuasa.
Pada tahun 2018, misalnya, ketika saya di minta Anies Baswedan menggalang kekuatan anti Reklamasi Pantai Utara Jakarta, gerakan ini gagal. Itu setelah saya menggalang alumni ITB, UI dan IPB mengadvokasi buruknya reklamasi Pantai Utara Jakarta itu. Karena Jokowi dan rezimnya mendukung reklamasi, kekuatan Anies tidak mampu berbuat banyak.
Di era Prabowo Subianto, belum seratus hari umur kekuasaan dia, 30 km panjang pantai Utara Tangerang yang mau dirampok oligarki hancur berantakan. Prabowo mengerahkan berbagai unsur kementeriannya mencabut izin pagar laut. Bahkan, terkahir memerintah tentara mengambil kembali pantai yang mau dirampok itu.
Kebijakan Prabowo lainnya terlalu banyak untuk disaksikan sebagai perang struktural. Baik mengalokasikan uang pada puluhan juta anak-anak miskin untuk makan gratis, pengambilalihan kebun sawit ilegal jutaan hektar, pembubaran Judi Online, memvonis berat koruptor, dll serta terkahir akan mencekik leher pengusaha jahat yang sering menipu petani.
Dalam pendekatan analisis berbasis material, kaum strukturalis mampu menjelaskan bahwa kebijakan Prabowo ini bukan saja berpihak pada rakyat miskin, tapi lebih jauh lagi menyatakan perang pada kaum oligarki. Sebaliknya kaum humanis dan cengeng, selalu berlindung pada isu-isu kebebasan yang manipulatif.
Selanjutnya, soal adanya kaum kontra revolusioner. Dalam sejarah perjuangan struktural, seperti yang dilakukan Prabowo, tentu banyak pihak yang terganggu kepentingannya. Ketika Prabowo mengkonsolidasikan aset negara republik ini, melalui Danantara, maka negara mampu menguasai dan mendominasi pasar keuangan ke depan. Dengan memutar Rp. 200-300 T uang hasil efisiensi, Prabowo dapat mengkapitalisasi Danantara sekitar Rp 1200-1500 T. Uang ini dapat digunakan membangun proyek-proyek besar tanpa tergantung pada swasta dan asing.
Makan bergizi gratis dan Danantara adalah sebuah pelaksanaan "Ideological State Apparatuses", di mana Prabowo perlu mencengkram semua rencananya ditangan negara, setidaknya secara mayoritas. Jika ini berhasil, maka kekuatan dan kekuasaan oligarki rakus yang selama ini berkembang pesat, akan tunduk pada negara.
Oligarki rakus tentu marah pada Prabowo. Sebagimana pandangan Professor Jeffrey Winter, ekonom ahli Oligarki Amerika, oligarki mempunyai "Defence industry" untuk mempertahankan diri. Mereka mempunyai kekuatan lawyer, intelektual, jaringan massa, jaringan preman, tokoh agama, kampus, dll yang akan membela mereka. Dengan kekuatan ini mereka pasti akan perang terhadap Prabowo.
Oligarki rakus ini adalah salah satu kelompok kontra revolusioner. Mereka tidak mau berubah. Mereka terus menerus ingin mengendalikan republik. Namun, disamping kaum oligarki, banyak lagi kelompok - kelompok kepentingan yang akan membenci Prabowo Subianto. Baik dari kalangan luar rezim, maupun dari dalam. Untuk kekuatan dari dalam ini, tentu terjadi karena Prabowo ternyata tidak sesuai harapan mereka semula maupun karena mereka kehilangan zona nyaman untuk korupsi.
Hal terakhir yang jadi persoalan adalah belum adanya "barisan ideologis" Prabowo. Kebijakan Prabowo selama ini belum mampu diterjemahkan kepada masyarakat secara tepat.
Barisan ideologis diperlukan untuk memperkuat penerimaan pikiran dan mimpi Prabowo dikalangan cendikiawan, mahasiswa dan kelas menengah lainnya. Althusser misalnya membagi dua, antara Reppresive State Apparatuses dan Ideological State Apparatuses. Prabowo harus memperkuat kedua unsur state itu agar mampu menjadi barisan ideologis.
Mahasiswa misalnya, perlu diajak dialog berbasis ilmu dan fakta. Sebagaimana kata filsup Rocky Gerung ketika di daulat mahasiswa demo untuk berbicara di Samarinda dua hari lalu, Rocky mengatakan mengkritiklah mahasiswa dengan berbasis sains. Artinya, barisan ideologis Prabowo menjelaskan secara keilmuan di kampus-kampus, bagaimana revolusionernya berbagai kebijakan Prabowo dan kenapa beberapa hal soal Jokowi dapat dijelaskan.
Fenomena demonstrasi mahasiswa ini menjadi renungan bagi kita semua. Mahasiswa dalam gerakannya adalah gerakan moral. Namun, kaum kontra revolusioner bisa saja mencari peluang dari gerakan mahasiswa tersebut untuk menjatuhkan Prabowo. Untuk itu kaum revolusioner harus bersekutu dengan Prabowo Subianto dan Prabowo Subianto harus bersekutu dengan kekuatan rakyat.
Jika ini terjadi dengan baik, maka "Indonesia Gelap" akan segera bersinar kembali. Bersama Prabowo akan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang". rmol news logo article
*) Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle
Artikel Terkait
PDIP Sebut Hasto Ditarget untuk Ditahan Sebelum Kongres: Bagian Operasi Politik
Di Bawah Presiden Prabowo, Indonesia Semakin Gelap Gulita atau Terang Benderang?
Nekat! Copet Diduga Beraksi saat Demo Mahasiswa Indonesia Gelap, Diamuk Massa hingga Nyaris Tewas
Pujian Berlebihan ke Jokowi, Eks Presidium GMNI: Prabowo Merendahkan Diri Sendiri