Dari Ndasmu ke Kau yang Gelap: Mengapa Gaya Komunikasi Pemerintahan Prabowo Subianto Berbahaya?

- Jumat, 21 Februari 2025 | 13:50 WIB
Dari Ndasmu ke Kau yang Gelap: Mengapa Gaya Komunikasi Pemerintahan Prabowo Subianto Berbahaya?


Dari 'Ndasmu' ke 'Kau yang Gelap': Mengapa Gaya Komunikasi Pemerintahan Prabowo Subianto Berbahaya?


Gaya komunikasi Presiden Prabowo Subianto dan kabinetnya belakangan ini menjadi sorotan. Prabowo dan jajaran pemerintahannya dinilai antikritik dalam merespons berbagai isu yang mencuat di masyarakat. Beberapa ahli bahkan menilai gaya komunikasi ini berbahaya. Mengapa demikian?


Pidato Prabowo dalam peringatan ulang tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Bogor, Sabtu (15/2/2025) belakangan menjadi sorotan. 


Dalam pidatonya, Ketua Umum Gerindra itu tiga kali melontarkan kata "ndasmu"—ungkapan dalam bahasa Jawa yang bermakna kasar ketika digunakan dalam debat atau pernyataan tegas.


Pertama, saat menanggapi kritik terhadap program makan bergizi gratis (MBG), salah satu janji kampanye andalannya. 


Prabowo mengaku banyak pihak meragukan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program tersebut.


Namun, ia mengklaim MBG telah menjangkau ratusan ribu pelajar.


"Tidak ada presiden yang punya tongkat Nabi Musa. Negara kita sangat besar. Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar belum banyak. Kalau enggak ada wartawan, saya bilang ndasmu," ujar Prabowo, disambut gelak tawa kader Gerindra yang hadir.


Kata "ndasmu" kembali ia lontarkan saat merespons kritik soal kabinetnya yang dianggap terlalu gemuk.


"Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar... ndasmu," katanya.


Tak berhenti di situ, Prabowo juga menggunakan ungkapan yang sama ketika menanggapi anggapan bahwa ia dikendalikan oleh Presiden ke-7, Joko Widodo.


"Nanti saya dibilang dikendalikan Pak Jokowi, cawe-cawe... ndasmu," ucapnya lagi.


Bentuk Ancaman


Guru Besar Linguistik UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamal Yusuf, menilai penggunaan kata "ndasmu" oleh Prabowo memiliki konotasi negatif. 


Menurutnya, ungkapan itu terdengar kasar dan menunjukkan pergeseran dari bahasa resmi ke bahasa informal.


"Meskipun bersifat informal, pilihan kata tersebut tetap terkesan kasar," kata Kamal, Kamis (20/2/2025).


Dari perspektif strategi kesantunan, Kamal menjelaskan bahwa frasa "ndasmu" merupakan bentuk face-threatening act—tindakan yang dapat mengancam citra lawan bicara, dalam hal ini para pengkritiknya.


"Dalam konteks politik, ini bisa memperkuat kesan Prabowo sebagai pemimpin yang tegas, tapi juga otoritatif," ujarnya.


Namun, ada konsekuensi lain. Penggunaan kata itu bisa merendahkan kewibawaan Prabowo, baik sebagai individu maupun sebagai presiden.


Publik sebenarnya menginginkan komunikasi yang lebih menenangkan, terutama saat pemerintah menghadapi kritik.


Sebagai kepala negara, Prabowo dinilai perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pilihan katanya. 


Dalam membangun citra yang kuat, kata Kamal, seorang pemimpin tetap harus menghormati norma komunikasi publik.


"Normalisasi bahasa kasar di tingkat elite bisa berujung pada degradasi kualitas komunikasi politik di Indonesia," imbuhnya.


Tak hanya Prabowo


Buruknya gaya komunikasi tersebut, bukan hanya tergambar pada Prabowo. Beberapa menteri dan pejabat setingkatnya juga menunjukkan gaya komunikasi yang menuai kritikan tajam. Mereka dianggap sinis. 


Sebut saja pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan menanggapi #KaburAjaDulu. 


"Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi," kata Nuel  sapaan akrabnya beberapa waktu lalu.  


Belakangan, dia mengklarifikasi pernyataannya tersebut. Dia mengaku bertanggungjawab atas perkataannya sendiri. Ia berdalih tagar tersebut bisa memunculkan pesimisme di masyarakat. 


Dia tak ingin ada yang orang pergi ke luar negeri, tapi tidak bisa kembali lagi kemudian menyalahkan pemerintah. 


Pernyataan berikutnya yang tak kalah kontroversi, kalimat yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menanggapi  tagar Indonesia Gelap. Dalam keterangannya, Luhut menilai tagar tersebut tidak relevan.


Menurutnya, masalah lapangan pekerjaan yang menjadi salah satu isu dalam tagar Indonesia Gelap, bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga negara lain seperti Amerika Serikat. 


"Jadi kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau! Bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengklaim sana-sini," kata Luhut pada Rabu (19/2). 


Pengamat politik dari Citra Institute, Yusak Farchan menilai kalimat-kalimat yang dilontarkan jajaran kabinet Prabowo yang dianggap antikritik merupakan implikasi dari gagalnya Kantor Komunikasi Kepresiden membahasakan kebijakan pemerintah sehingga tidak dapat dipahami masyarakat. Dampaknya adalah bermunculannya tagar Kabur Aja Dulu hingga Indonesia Gelap.


"Terutama para jubir di kantor komunikasi kepresidenan yang tidak tanggap, tidak cepat, menyelami anatomi masyarakat," kata Yusak.


Gagalnya upaya membahasakan kebijakan Prabowo, kemudian diperburuk dengan pernyataan-pernyataan  dari jajaran kabinet seperti Luhut dan Nuel. 


Yusak pun menilai jika hal tersebut terus berulang akan membahayakan, karena berpotensi merusak kredibilitas Prabowo sebagai presiden. 


Respons yang diberikan harusnya mampu menumbuhkan optimisme masyarakat dan merasionalkan kebijakan pemerintah sehingga dapat dipahami dengan mudah. Bukan justru sebaliknya, dengan serangan balik dengan kalimat yang sinis. 


Sumber: Suara

Komentar