Buah Apatisme: Keberhasilan Raja Jawa atau Bubarnya Republik 2030?

- Sabtu, 22 Februari 2025 | 11:50 WIB
Buah Apatisme: Keberhasilan Raja Jawa atau Bubarnya Republik 2030?


Buah Apatisme: 'Keberhasilan Raja Jawa atau Bubarnya Republik 2030?'


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Politik


(Kejahatan Reklamasi Laut yang TSM Berlanjut)


Salah satu pelajaran berharga bagi kekuatan bangsa adalah meninjau kembali mentalitas kolektif dalam perjuangan bersama. 


Jika gerakan adili Jokowi tidak terealisasi—atau lebih buruk lagi, jika bangsa ini justru memilih apatis—maka moralitas dan jiwa kebangsaan kita telah tergadaikan hampir sepenuhnya kepada Jokowi. 


Tak hanya sebatas pengaruh, sebagian besar aset bangsa pun kini berada dalam cengkeramannya.


Momentum untuk mereview moralitas nasional dengan kadar loyalitas kebangsaan yang tinggi telah datang. 


Namun, menghadapi seorang Jokowi—yang disebut-sebut sebagai common enemy—ternyata bangsa ini justru tidak berdaya. 


Bahkan setelah ia pensiun sekalipun, ketokohannya tetap menjadi momok yang menakutkan. Ia bisa diam, tapi ejekan dan pelecehan terhadap rakyat terus berlangsung.


Kini, bangsa ini berada dalam tahap ketiga bayang-bayang kekuasaan Jokowi. 


Tak ada lagi penghalang bagi Gibran untuk menduduki puncak kekuasaan, menjadikan Jokowi sebagai de facto penguasa di periode keempat, kelima, dan seterusnya. 


Kekuasaan ini silih berganti—jika bukan Gibran, maka Kaesang, menantu, atau bahkan cucunya akan melanjutkan dinasti ini.


Ucapan Bahlil Lahadalia yang pernah menyatakan, “Raja Jawa kok mau dilawan?” tampaknya semakin terbukti. 


Atau mungkin justru sinyal peringatan dari Prabowo pada 2018 lebih tepat: “Indonesia akan bubar pada 2030.” 


Sebuah asumsi yang kini kian terlihat nyata.


Yang pasti, apatisme bangsa ini akan berdampak langsung pada keberlanjutan proyek-proyek oligarki, termasuk reklamasi laut yang terus meluas. 


PSN, PIK 2, dan reklamasi perairan lainnya tak akan terhenti, bahkan akan semakin menggerogoti pantai, hutan negara dengan dalih HGU, hingga mengubah wajah kota-kota besar dengan megaproyek tak terkendali.


Dan pada akhirnya, buah dari kesabaran, ketakutan, dan apatisme yang telah mendarah daging hanya akan menyisakan kehancuran. 


Sementara segelintir orang berjuang dengan segala keterbatasan, mayoritas bangsa ini memilih diam, bergeming, dan menjadi penonton.


Apakah ini yang disebut sebagai keberhasilan “Raja Jawa”? Ataukah kita tengah menyongsong kehancuran Republik sebelum 2030? ***

Komentar

Terpopuler