ERA JOKOWI: 'Kebodohan Kolektif Dinilai Sebagai Kebenaran'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam sebuah dunia di mana kebodohan diagungkan sebagai bentuk cinta tanah air, di sanalah kecerdasan menjadi bahaya.
Seperti lilin yang mencoba menyala di tengah badai, pemikiran jernih dihujat, pertanyaan kritis dicap pengkhianatan, dan akal sehat dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas kekuasaan.
Kita hidup di zaman ketika penguasa yang diragukan kapasitasnya justru dielu-elukan sebagai pahlawan.
Jokowi, yang oleh Rocky Gerung disebut sebagai si dungu dan tolol, berdiri di puncak kekuasaan tanpa ketajaman visi, hanya dengan modal pencitraan dan pengendalian narasi.
Apa yang dahulu dianggap sebagai kebodohan kini diarak sebagai kebijaksanaan.
Apa yang dahulu disebut keberanian mengkritik, kini dikategorikan sebagai ancaman bagi persatuan.
Negara bukan lagi arena bagi akal sehat, tetapi panggung sandiwara di mana para aktor berpura-pura memimpin, sementara rakyat dipaksa percaya bahwa kemunduran adalah kemajuan.
Kebodohan bukanlah sekadar kekurangan ilmu, melainkan ketidakmampuan berpikir secara mendalam, ketidakmauan memahami realitas di luar ilusi yang diciptakan. Dan ironinya, semakin dungu seorang pemimpin, semakin ia dipuja.
Mengapa? Sebab kebodohan kolektif lebih nyaman daripada kecerdasan individual.
Pemikiran kritis menuntut tanggung jawab, sedangkan kebodohan menawarkan kenyamanan dalam ketundukan.
Hari ini, kita melihat bagaimana rakyat diajak bersorak untuk proyek-proyek mercusuar, sementara pendidikan dan intelektualitas diabaikan.
Ibu Kota Nusantara (IKN) dipromosikan sebagai kebanggaan, padahal ia adalah monumen dari ambisi kosong.
Anggaran miliaran mengalir untuk upacara seremonial, sementara anak-anak negeri ini kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.
Mereka yang mempertanyakan prioritas ini dianggap sebagai pengganggu, bukan sebagai patriot sejati.
Ketika kecerdasan menjadi ancaman, maka kebenaran dikubur oleh propaganda. Ketika pertanyaan dianggap penghinaan, maka kebebasan berpikir perlahan mati.
Negeri ini, yang dahulu dibangun dengan gagasan besar dan idealisme, kini tenggelam dalam gelombang pembodohan massal.
Setiap kritik disambut dengan tuduhan makar, setiap argumen dijawab dengan slogan kosong.
Inilah zaman di mana mengungkap fakta berarti melawan arus, di mana menjadi cerdas berarti memilih jalan sunyi yang penuh risiko.
Tapi sejarah mengajarkan bahwa badai kebodohan takkan selamanya bertahan. Lilin yang tertiup angin masih bisa dinyalakan kembali. Akal sehat mungkin dihujat hari ini, tetapi ia takkan mati.
Sebab, sesungguhnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang membungkam kecerdasannya sendiri, melainkan bangsa yang berani merangkul pemikiran-pemikiran terbaik demi masa depan yang lebih baik.
Maka, tetaplah berpikir, meskipun itu berbahaya. Sebab, di tengah zaman ketika kebodohan dianggap sebagai patriotisme, menjadi cerdas adalah bentuk perlawanan paling hakiki. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: Nuansa Politik Yang Kentara
Saat Rakyat Teriak Adili, Habib Rizieq Shihab: Stop Presiden Prabowo Jangan Lindungi Jokowi Lagi!
Ini Yang Ditunggu! Connie Bakrie Ungkap Akan Bongkar Dokumen Skandal Rahasia Pejabat Jika Diizinkan Hasto
Lebih Mudah Memprediksi Prabowo Gagal Daripada Akan Sukses