Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: Nuansa Politik Yang Kentara

- Senin, 24 Februari 2025 | 00:05 WIB
Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: Nuansa Politik Yang Kentara


Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: 'Nuansa Politik Yang Kentara'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan publik setelah merespons permintaan Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, agar Presiden Joko Widodo diperiksa terkait dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi. 


KPK dengan cepat menanggapi dengan pernyataan klise: “Silakan dilaporkan.” 


Respons ini sekilas terdengar normatif, tetapi menjadi ironis ketika dibandingkan dengan perlakuan KPK terhadap laporan serupa yang diajukan oleh Ubedilah Badrun, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), serta laporan dari Boyamin Saiman, seorang aktivis dari NGO, yang hingga kini tidak jelas nasibnya. 


Ada apa dengan KPK? Apakah benar lembaga ini masih memiliki independensi, atau justru telah menjadi alat politik bagi kepentingan tertentu?


Dua Sikap Berbeda, Satu Institusi


Hasto Kristiyanto bukanlah figur sembarangan dalam kancah politik nasional. Sebagai orang dekat Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDI-P, pernyataannya memiliki bobot politik yang signifikan.


Saat ia meminta KPK untuk memeriksa Jokowi, KPK merespons dengan retorika prosedural bahwa siapa pun bisa melapor. 


Namun, respons ini terasa hambar jika melihat bagaimana laporan-laporan sebelumnya tentang dugaan korupsi yang melibatkan lingkaran kekuasaan, termasuk laporan Ubedilah Badrun terkait bisnis anak-anak Jokowi, cenderung diperlakukan dengan sangat lambat atau bahkan diabaikan.


Ubedilah Badrun, seorang akademisi yang berkali-kali melaporkan dugaan tindak korupsi dan pencucian uang yang melibatkan anak Presiden, telah mengalami penolakan berkali-kali dengan dalih “bukti kurang lengkap.” 


Sementara itu, laporan TPUA dan laporan dari Boyamin Saiman yang menyangkut berbagai dugaan korupsi besar juga tidak mendapat perhatian serius dari KPK. 


Mengapa laporan-laporan ini seolah menguap begitu saja? 


Jika benar semua laporan harus melalui prosedur yang sama, mengapa ada yang cepat diproses dan ada yang seolah tak tersentuh?


KPK: Masih Independen atau Sudah Dikooptasi?


Sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019, banyak pihak menilai bahwa lembaga ini telah kehilangan taringnya. 


Dahulu, KPK menjadi momok bagi koruptor, tetapi kini kesan yang muncul adalah bahwa lembaga ini lebih memilih menangani kasus-kasus yang tidak bersinggungan dengan kepentingan penguasa. 


Bahkan, ada anggapan bahwa KPK kini berfungsi sebagai alat politik untuk menekan lawan dan melindungi kawan.


Kasus-kasus besar yang menyangkut lingkaran kekuasaan sering kali berakhir tanpa kejelasan, sementara kasus yang melibatkan tokoh-tokoh oposisi atau yang tidak berada dalam lingkaran kekuasaan lebih cepat diproses. 


Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah KPK masih berfungsi sebagai lembaga independen, ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo?


Nuansa Politik yang Tak Terbantahkan


Dalam politik, netralitas adalah barang mahal. KPK, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moralitas dalam tata kelola negara, tampaknya semakin kehilangan kepercayaan publik. 


Sikapnya yang tebang pilih semakin memperjelas bahwa ada nuansa politik yang kuat dalam setiap keputusan yang diambilnya.


Jika benar KPK masih independen, seharusnya tidak ada diskriminasi dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. 


Namun, ketika ada laporan terhadap penguasa yang terus-menerus diabaikan sementara laporan lain cepat diproses, sulit untuk tidak melihat ada kepentingan politik yang bermain.


Pada akhirnya, masyarakat berhak mempertanyakan kredibilitas KPK. 


Apakah lembaga ini masih menjalankan fungsinya sebagai pemberantas korupsi, atau justru telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan? 


Jika KPK masih memiliki sedikit integritas, sudah saatnya lembaga ini menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada kepentingan politik siapa pun. 


Jika tidak, maka harapan untuk melihat Indonesia bebas dari korupsi hanya akan menjadi angan-angan belaka. ***


[FLASHBACK] TPDI Laporkan Jokowi, Ketua MK, Gibran, hingga Kaesang soal Tuduhan KKN




Kelompok yang mengatasnamakan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Persatuan Advokat Nusantara melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke KPK. 


Selain Jokowi, pelapor melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Ketum PSI Kaesang Pangarep. Laporan itu terkait tuduhan kolusi dan nepotisme.


"Tadi kita melaporkan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme kepada pimpinan KPK. Melaporkan dugaan adanya tadi, kolusi nepotisme yang dilakukan oleh yang diduga dilakukan oleh Presiden kita RI Joko Widodo dengan Ketua MK Anwar, juga Gibran dan Kaesang dan lain-lain," kata Koordinator TPDI, Erick S Paat, di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.


Erick mengatakan pelaporan itu terkait putusan Mahkamah Konstitusi soal capres dan cawapres di bawah usia 40 tahun boleh maju asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah. 


Erick menuding putusan yang diketok Anwar Usman yang merupakan ipar Jokowi itu untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.


"Bahwa berdasarkan informasi yang didapat dari dinamika persidangan sebagaimana diungkap oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang menyampaikan dissenting opinion, terungkap sejumlah perilaku yang diduga dilakukan oleh Prof Dr Anwar Usman, SH, MH, untuk meloloskan Uji Materiil Perkara No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 15 Agustus 2023 demi memperjuangkan kepentingan dan membukakan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres," katanya.


Erick mengatakan seharusnya Anwar Usman mengundurkan diri karena keputusan yang diambil akan beririsan dengan kerabatnya. 


Erick menuding ada nepotisme yang dilakukan Anwar dan Jokowi karena membiarkan Anwar Usman memutus perkara gugatan batas usia capres atau cawapres.


"Bahwa Prof Dr Anwar Usman, SH, MH, dalam perkara-perkara tersebut di atas, menyebabkan kedudukannya berada dalam apa yang disebut Nepotisme yang melahirkan benturan kepentingan yang diatur Pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan mewajibkan yang bersangkutan harus mengundurkan diri," katanya.


"Tetapi sejak awal menerima secara resmi permohonan uji materiil, yang bersangkutan tidak men-declare dirinya memiliki hubungan darah atau hubungan semenda dengan Ir Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, di mana seharusnya yang bersangkutan mengundurkan diri dari semua perkara dimaksud," sambungnya.


Erick mengatakan laporannya telah diterima bagian pengaduan masyarakat. Dia berharap laporan itu ditindaklanjuti.


"Diterima (pengaduannya), kita tunggu aja tindak lanjutnya. Ini adanya dugaan kolusi nepotisme. Bagaimana mau menegakkan hukum, ini berkaitan juga dengan masalah korupsi tidak akan terjadi kalau pemimpinnya sudah melanggar hukum siapa yang mau di dengar siapa yang mau dihormati," ujarnya.


Adapun pihak terlapor dalam hal ini sebagai berikut:


1. Presiden Jokowi

2. Ketua MK Anwar Usman

3. Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka

4. Ketua PSI Kaesang Pangarep

5. Mensesneg Pratikno

6. Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto

6. Almas Tsaqibbirru, prinsipal pemohon

7. Arif Suhadi, kuasa hukum pemohon


Dia pun menyebut dasar hukum dalam laporan ini yakni:


1. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945

2. TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme

3. TAP MPR No. VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

4. UU No. 28/1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

5. UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6. UU No. 19/2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7. UU No. 18/2003 Tentang Advokat

8. PP No. 43/2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

9. PP No. 68 /1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara


Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri membenarkan adanya laporan tersebut. KPK, kata Ali, akan melakukan analisis dan verifikasi terlebih dahulu.


"Setelah kami cek, betul ada laporan masyarakat di maksud. Namun tentu kami tidak bisa menyampaikan materi maupun pihak pelapornya," kata Ali.


"Berikutnya sesuai ketentuan kami lakukan tindak lanjut atas laporan masyarakat dengan analisis dan verifikasi untuk memastikan apakah memenuhi syarat dan menjadi kewenangan KPK," imbuhnya.


Sumber: FusilatNews

Komentar

Terpopuler