'Setelah Rp197 Triliun Hilang, Apa Jaminan Korupsi BBM Tidak Terulang?'
Oleh: M.Nur K. Amrullah
Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh press release Kejaksaan Agung pada Selasa, 25 Februari 2025 tentang skandal korupsi yang menyeret Pertamina.
Terbongkarnya skandal korupsi di sektor energi yang merugikan negara hingga Rp197 triliun menegaskan bahwa tata kelola Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia masih sarat dengan persoalan mendasar.
Kasus ini bukan hanya mencerminkan bobroknya pengawasan internal, tetapi juga menunjukkan bagaimana praktik korupsi yang sistemik dapat berlangsung dalam waktu lama tanpa terdeteksi.
Pertanyaannya, setelah skandal ini terbongkar, apa jaminan bahwa korupsi serupa tidak akan terulang?
Momentum Penegakan Hukum yang Harus Berlanjut
Langkah tegas Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus ini patut diapresiasi.
Keberanian dalam membongkar skema korupsi yang melibatkan aktor-aktor besar di sektor energi menunjukkan bahwa penegakan hukum mulai bergerak lebih serius.
Namun, publik berhak mempertanyakan sejauh mana kasus ini akan ditindaklanjuti.
Apakah hanya akan berhenti pada penahanan beberapa pelaku, ataukah berlanjut pada reformasi mendasar di tubuh Pertamina dan lembaga terkait?
Tanpa evaluasi menyeluruh dan reformasi kebijakan yang konkret, pengungkapan kasus ini hanya akan menjadi sensasi sesaat.
Sejarah telah menunjukkan bahwa skandal besar kerap berulang karena sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya efek jera yang nyata bagi para pelaku korupsi.
Reformasi Tata Kelola Energi: Dari Transparansi ke Akuntabilitas
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, pemerintah harus melakukan reformasi struktural dalam tata kelola energi, khususnya di sektor BBM. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Penguatan Transparansi dan Digitalisasi
Sistem distribusi dan pengelolaan BBM harus lebih transparan dan terdigitalisasi sepenuhnya agar dapat diawasi secara real-time.
Dengan pemanfaatan teknologi blockchain, misalnya, transaksi dan distribusi BBM dapat tercatat secara otomatis tanpa celah manipulasi dat
2. Perbaikan Sistem Pengawasan
Pengawasan internal di Pertamina perlu diperkuat dengan audit berkala yang dilakukan oleh lembaga independen.
Selain itu, keterlibatan publik dan lembaga masyarakat sipil dalam mengawasi tata kelola energi perlu difasilitasi untuk mencegah kolusi antara regulator dan korporasi.
3. Penerapan Sanksi yang Lebih Berat
Hukuman bagi pelaku korupsi di sektor strategis seperti energi harus diperberat, tidak hanya berupa pidana penjara tetapi juga penyitaan aset dan pencabutan hak politik serta jabatan di sektor publik. Efek jera yang kuat dapat mengurangi potensi pengulangan kasus serupa.
4. Reformasi Tata Kelola BUMN di Sektor Energi
BUMN seperti Pertamina perlu direstrukturisasi agar lebih transparan dan akuntabel.
Mekanisme rekrutmen dan promosi jabatan di dalamnya harus lebih meritokratis untuk menghindari budaya patronase yang membuka peluang korupsi.
Kesadaran Publik: Mengawal, Bukan Sekadar Menyaksikan
Selain reformasi di tingkat institusi, masyarakat juga memiliki peran krusial dalam mengawal jalannya proses hukum dan menuntut perubahan kebijakan.
Kesadaran publik akan pentingnya tata kelola energi yang bersih harus terus dibangun melalui edukasi dan keterlibatan dalam advokasi kebijakan.
Skandal Rp197 triliun ini seharusnya menjadi titik balik bagi bangsa ini untuk memperbaiki sistem yang selama ini longgar dan mudah dimanipulasi.
Jika tidak ada langkah konkret yang diambil, besar kemungkinan kasus serupa akan kembali terulang, dengan angka kerugian yang mungkin lebih besar lagi.
Saatnya kita bertanya: apakah kita hanya akan menjadi saksi dari skandal demi skandal, atau turut serta mendorong perubahan yang nyata? ***
Artikel Terkait
Kronologi Viralnya Video Syur Bu Guru Salsa, Ternyata Ditipu Pacar Online
Muslim Arbi: Uang Korupsi Oplosan Pertamina Diduga Mengalir ke Paslon di Pilpres 2024
Legislator PDIP Minta KKP Jangan Sebut Inisial Pelaku Pemagar Laut
Universitas Paramadina Gelar Presidential Lecture Bersama Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono