Oleh: Defiyan Cori*
APRESIASI patut diberikan publik kepada jajaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) atas upaya penindakan hukum yang dilakukan terkait dugaan penyimpangan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp193,7 triliun per tahun. Bahkan, total kerugian negara berdasar temuan jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI yang terjadi dalam kurun waktu 2018-2023 atau selama 5 (lima) berjumlah Rp968,5 triliun.
Angka ini cukup fantastis lebih dari sepertiga alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per tahun. Namun, benarkah kasus ini terjadi karena upaya "pengoplosan" oleh Pertamina yang berkonotasi negatif bagi para konsumen?
Akhirnya, Balai Besar Lembaga Minyak dan Gas Bumi/LEMIGAS sebagai pihak yang berkompeten memastikan bahwa seluruh uji petik (sampel) BBM jenis pertalite RON 90) produk Pertamina telah memenuhi spesifikasi yang ditetapkan oleh Pemerintah cq. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Hal itu ditegaskan oleh Kepala Balai Besar LEMIGAS Mustafid Gunawan atas serangkaian pengujian yang telah dilakukan di laboratorium dengan sampel di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang serta berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang Selatan.
Dengan demikian, kasus yang "dituduhkan" kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina atas proses pencampuran bahan-bahan untuk BBM pertalite dan pertamax bukanlah tindak "pengoplosan" menjadi jelas dan terang benderang bagi masyarakat konsumen.
Namun, yang menjadi pertanyaan publik tentu saja adalah, mengapa para pengusaha yang menjalankan usaha/bisnis penjualan BBM jenis pertalite dan pertamax dan sebagian besar tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) yang didirikan pada 3 September 1979 di Jakarta hanya diam tak bergeming?
Sebab berdasar data PT. (Persero) Pertamina Patra Niaga (PPN) pada Agustus 2024, jumlah SPBU di Indonesia mencapai 7.751 unit. Dari jumlah tersebut, 7.516 SPBU atau 97 persen dari total SPBU tersebut berada dalam koordinasi sub holding dari BUMN Pertamina, yaitu PPN. Tidakkah tuduhan pengoplosan pertalite dan pertamax kepada BUMN Pertamina juga merugikan kepentingan para pengusaha SPBU?
Untuk itulah, pasca pernyataan kepastian jaminan kualitas BBM pertalite dan pertamax oleh LEMIGAS semestinya pihak Hiswana Migas juga memberikan jaminan atas kualitas produk BBM yang mereka perjualbelikan dan tidak elok hanya diam saja karena akan berdampak pada kepercayaan (trust) konsumen yang selama ini loyal kepada SPBU-Pertamina.
Apalagi, sikap ini sangat ditunggu oleh masyarakat konsumen yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan menghadapi Hari Raya Idulfitri 1446 H agar kegiatan mudiknya berjalan lancar, aman dan nyaman. Potensi gangguan pasokan BBM pertalite yang 67 persen lebih dikonsumsi masyarakat menjelang kegiatan mudik lebaran inilah yang harus segera diantisipasi sejak dini oleh para pengusaha SPBU.
"Suara" atau pernyataan jaminan BBM berkualitas dari Pertamina ini penting dari para anggota Hiswana Migas selain untuk mendudukkan porsi kasus yang sedang diselidiki Kejagung juga menjaga nama baik atau "citra" perusahaan negara. Jangan sampai, kasus pengoplosan BBM jenis pertalite dan pertamax itu justru dituduhkan publik kepada pengelola SPBU untuk mengambil keuntungan lebih besar.
Sementara, BUMN Pertamina melalui sub holding PPN memang murni melaksanakan proses pencampuran zat (blending) serta jamak dilakukan oleh produsen BBM lainnya di dunia. Sebagaimana hal itu juga dijelaskan oleh produsen BBM pesaing Pertamina seperti Shell, BP-AKR dan.Vivo dihadapan anggota Komisi XII DPR-RI pada Jum'at 26 Februari 2025.
Oleh karena itu, patutkah Hiswana Migas yang telah mengambil keuntungan bisnis selama 45 tahun hanya "berpangku tangan" saja menyaksikan rekan kerjanya BUMN Pertamina "diserang" dan dicecar oleh publik atau warga media sosial/medsod (netizen)?
Hal ini sangat krusial agar publik dapat memisahkan antara kasus tindak pidana penggelembungan (mark up) nilai impor BBM yang dilakukan oleh oknum pejabat BUMN Pertamina dengan proses pencampuran zat (blending) yang memang harus dilakukan produsen Migas.
Jika pembiaran tuduhan "pengoplosan" BBM jenis pertalite dan pertamax oleh publik kepada BUMN Pertamina terus terjadi dan berdampak pada pemenuhan BBM di tanah air yang harus diimpor (kekurangan produksi atas konsumsi) maka kerjasama dengan Hiswana Migas harus dievaluasi.
*(Penulis adalah Ekonom Konstitusi/Staf Ahli YLKI)
Artikel Terkait
Hotman Paris Sebut Ada Pengacara Kasih Jaminan KTP Usai Kencan dengan Cewek di Hotel, Diduga Sindir Razman Arif Nasution
Trump Ancam Hamas di Media Sosial: Sekaranglah Saatnya Untuk Meninggalkan Gaza
Gusnahari, Hakim Pengadilan Agama Batam Ditusuk 2 Orang Misterius Pakai Penutup Wajah
Raja Juli Antoni Kena Community Notes Usai Senggol Anies, Publik: Udah Jadi Menteri Masih Aja Nyinyir