Kehadiran delapan taipan besar Indonesia di Istana Negara untuk bertemu Presiden Prabowo Subianto memicu spekulasi dan perdebatan luas di kalangan politik dan ekonomi. Delapan konglomerat tersebut adalah Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata. Mereka dikenal sebagai pengusaha yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai sektor strategis, mulai dari pangan, properti, perbankan, hingga sumber daya alam.
Pertemuan tersebut dinilai sebagai sinyal kuat bahwa hubungan antara pemerintah dan kelompok oligarki semakin erat, yang dapat berdampak pada kebijakan ekonomi dan arah pembangunan nasional ke depan. Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, menilai pertemuan ini sebagai indikasi bahwa Prabowo telah masuk dalam perangkap oligarki taipan.
Meski tidak ada pernyataan resmi yang rinci mengenai agenda pertemuan tersebut, berbagai sumber menyebutkan bahwa para taipan ini mendiskusikan isu-isu ekonomi, investasi, dan kebijakan strategis pemerintah di bidang industri, infrastruktur, serta perbankan. Namun, di balik pertemuan ini, muncul kekhawatiran bahwa para oligarki tengah mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi mereka dengan dukungan politik dari pemerintahan baru.
Menurut Sutoyo Abadi, pertemuan ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk lobi politik yang dapat mempengaruhi kebijakan negara.
“Pertemuan ini berbahaya karena menempatkan Presiden dalam posisi yang sangat dekat dengan oligarki. Sejarah menunjukkan bahwa ketika taipan memiliki akses langsung ke kekuasaan, kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada kepentingan mereka dibanding rakyat,” ujarnya yang dikutip dari www.suaranasional.com, Jumat (7/3/2024).
Sutoyo juga menambahkan bahwa situasi ini mengingatkan pada era sebelumnya ketika pengusaha besar memiliki hubungan erat dengan pemerintah dan akhirnya menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar. “Kita harus berhati-hati agar kekuasaan politik tidak dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi,” tambahnya.
Pertemuan ini juga memicu perdebatan mengenai sejauh mana Prabowo akan tetap independen dalam menjalankan kebijakannya. Dalam beberapa tahun terakhir, para taipan yang hadir dalam pertemuan ini telah berkontribusi dalam berbagai proyek infrastruktur dan investasi besar di Indonesia. Namun, di sisi lain, mereka juga mendapat keuntungan besar dari berbagai regulasi dan kebijakan yang memfasilitasi bisnis mereka.
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah kemungkinan adanya deal politik yang tidak transparan. Kedekatan antara pemerintah dan kelompok oligarki dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih menguntungkan pengusaha besar dibandingkan kepentingan rakyat luas.
“Jika para taipan ini memiliki akses yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan, maka kita harus mempertanyakan apakah kebijakan tersebut benar-benar untuk kepentingan nasional atau hanya menguntungkan sekelompok elite ekonomi,” papar Sutoyo.
Selain itu, dampak dari kedekatan ini juga bisa dirasakan dalam sektor-sektor strategis seperti pangan, energi, dan sumber daya alam. Taipan seperti Anthony Salim dan Franky Widjaja memiliki kepentingan besar dalam industri pangan dan perkebunan, sementara Boy Thohir dan Dato Sri Tahir berpengaruh dalam sektor perbankan dan keuangan. Jika kebijakan ekonomi lebih menguntungkan para pemodal besar, maka masyarakat kecil, petani, dan UMKM bisa saja menjadi pihak yang dirugikan.
Sejak kampanye pemilu, Prabowo dikenal dengan narasi nasionalisme ekonomi dan keberpihakan pada rakyat kecil. Namun, pertemuan dengan taipan-taipan besar ini menjadi ujian besar bagi komitmen tersebut. Apakah Prabowo akan tetap berpegang pada prinsip kemandirian ekonomi nasional, ataukah ia akan lebih banyak mengakomodasi kepentingan bisnis raksasa?
Jika Prabowo terlalu bergantung pada dukungan oligarki, maka pemerintahannya bisa kehilangan legitimasi di mata rakyat. Publik tentu berharap agar kebijakan yang dibuat tetap berlandaskan kepentingan nasional, bukan hanya keuntungan bagi segelintir orang. Selain itu, transparansi dalam hubungan antara pemerintah dan pengusaha harus tetap dijaga untuk menghindari konflik kepentingan yang dapat merugikan negara dalam jangka panjang.
Dalam beberapa bulan ke depan, kebijakan yang diambil oleh Prabowo akan menjadi indikator utama apakah ia benar-benar menjaga kemandirian politiknya atau justru semakin dalam terperangkap dalam lingkaran oligarki.
“Sejumlah kebijakan seperti pengelolaan sumber daya alam, kebijakan investasi, dan keberpihakan terhadap usaha kecil akan menjadi tolok ukur apakah pemerintahan Prabowo tetap memegang prinsip keadilan sosial atau tidak,” ungkapnya.
Sumber: suaranasional
Foto: Presiden Prabowo bertemu 8 pengusaha di antaranya Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata. (IST)
Artikel Terkait
Bantah Menteri PANRB, DPR Tak Setuju Pengangkatan CPNS Ditunda Oktober
Buntut Penundaan Pengangkatan CPNS, Prabowo Didesak Pecat Menpan RB
Beda dari Jokowi, Prabowo Tak Kucing-kucingan Ketemu Pengusaha
Proyek Tanggul Laut Raksasa Masuk PSN, AHY: Harus Segera Diwujudkan!