The Lead Institute, Universitas Paramadina, menggelar webinar bertajuk “Pseudo-Spiritualitas, Religius Tapi Gemar Korupsi” sebagai bagian dari Program Ramadan 2025: Spiritualitas di Era Digital. Diskusi ini menghadirkan Prof. Dr. Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta, dan Dida Darul Ulum, M.A, Peneliti Megawati Institute, serta dimoderatori oleh Maya Fransiska, S.Ag, Peneliti The Lead Institute. Acara ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom pada Kamis (13/3).
Mengapa Korupsi Tetap Subur di Negara Religius?
Ketua The Lead Institute, Dr. phil. Suratno Muchoeri, mengawali diskusi dengan menyoroti hipokrisi sebagai salah satu karakter khas masyarakat Indonesia, sebagaimana dikritik Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1977).
Menurut Dr. Suratno, hipokrisi ini berakar pada dua faktor utama: feodalisme dan pemisahan agama dari etika. Feodalisme menciptakan mentalitas asal bapak senang, sementara agama lebih banyak menjadi simbol daripada pedoman moral.
“Ini tentu sangat ironis dan paradoks, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim yang memahami bahwa Islam diturunkan untuk menyempurnakan akhlak,” ujar Dr. Suratno.
Ia juga mengaitkan fenomena ini dengan ciri kemunafikan dalam Islam: berbicara bohong, mengingkari janji, dan berkhianat dalam amanah. Namun, meski Islam mengajarkan nilai-nilai moral yang tinggi, mengapa korupsi masih merajalela?
Islam Pop, Kapitalisme, dan Hedonisme
Prof. Dr. Media Zainul Bahri menyoroti bagaimana religiusitas di Indonesia seringkali tidak berbanding lurus dengan integritas moral. Ia menekankan bahwa budaya permisif dan guyub yang melekat dalam masyarakat, meskipun bernilai positif, juga turut menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menurut Prof. Media, sejak kebangkitan Islam di era 70-an hingga munculnya fenomena Islam Pop, keberagamaan di Indonesia semakin dipengaruhi oleh kapitalisme dan hedonisme. Ia menyebut Islam Pop lebih menekankan simbol dan tampilan luar ketimbang substansi moral dan spiritual.
“Kita sering melihat politisi, pejabat, dan tokoh agama yang memahami Islam secara mendalam, tetapi tetap terjerat kasus korupsi. Ini menunjukkan bahwa agama lebih banyak dijadikan identitas simbolik ketimbang landasan etika,” ungkapnya.
Negara Religius dalam Kubangan Korupsi
Dida Darul Ulum, M.A, menggunakan analogi Gotham City dalam trilogi The Dark Knight karya Christopher Nolan untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang religius namun tetap berkubang dalam korupsi.
Ia mengutip laporan majalah CEOWORLD (8 April 2024) yang menempatkan Indonesia di peringkat ketujuh negara paling religius di dunia. Namun, fakta ini berbanding terbalik dengan indeks persepsi korupsi yang masih tinggi.
Dida menjelaskan perbedaan antara religion (agama sebagai keyakinan) dan religiosity (keberagamaan dalam perilaku). Menurutnya, iman tidak cukup jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita percaya kepada Tuhan, tetapi jika tidak menjalankan ajaran-Nya, itu belum bisa disebut keberagamaan yang sejati,” ujarnya.
Ia merinci tiga faktor utama penyebab korupsi di Indonesia tetap subur meskipun masyarakatnya religius: struktur pemerintahan yang koruptif, Budaya yang permisif terhadap korupsi, Sikap permisif dan apatis, Masyarakat cenderung membiarkan perilaku koruptif karena sudah dianggap lumrah.
Agama Hanya Ritual, Bukan Landasan Spiritual
Menurut Dida, salah satu penyebab utama lemahnya pengaruh agama dalam mencegah korupsi adalah karena agama lebih sering dipahami sebatas ritual, bukan sebagai etika sosial.
“Ritus-ritus keagamaan memang penting, tetapi jika tidak tersambung dengan kehidupan sehari-hari, maka akan kehilangan maknanya,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa pesan utama agama adalah membangun akhlak dan etika sosial, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
"Kesalehan personal harus ditransformasikan ke kesalehan sosial. Kita perlu keteladanan. Kesederhanaan itu bukan gimmick. Kita perlu seorang pemimpin dan tokoh-tokoh yang benar-benar bisa diteladani," katanya.
Transformasi Kesalehan Personal ke Kesalehan Sosial
Para pembicara sepakat bahwa perlu ada pergeseran paradigma dalam memahami agama. Keberagamaan seseorang seharusnya tidak hanya diukur dari seberapa sering ia beribadah, tetapi juga dari integritas dan kontribusinya dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Diperlukan peran besar dari para pemimpin dan tokoh agama untuk menjadi teladan dalam integritas dan kesederhanaan. Seperti yang pernah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Islam generasi terdahulu seperti Gus Dur, Prof. Mukti Ali, Nurcholish Madjid, dan Syafi'i Ma'arif.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan serta sistem pendidikan yang menekankan pembangunan karakter juga harus diperkuat.
Artikel Terkait
NGERI! Prediksi Cak Nun Indonesia di Tahun 2025, Prabowo Harus Siap?
HEBOH Celine Evangelista Disebut Istri ke-5 Si Kumis, Diberi Rumah Oleh Erick Thohir Agar Tak Tersangkut Pertamina Gate?
Waduh! Faktanya Pagar Laut di Kohod Masih Berdiri Tegak, Nelayan Kecewa Merasa Dibohongi
Etnis Cina Akan Melakukan Politik Pembersihan Ras Kepada Etnis Pribumi Indonesia