Indonesia Gelap: Lebih Parah dari Duterte, Jokowi Harus Segera Ditangkap!

- Senin, 17 Maret 2025 | 12:35 WIB
Indonesia Gelap: Lebih Parah dari Duterte, Jokowi Harus Segera Ditangkap!


Indonesia Gelap: Lebih Parah dari Duterte, Jokowi Harus Segera Ditangkap!


Oleh: Buni Yani


Hari Selasa, 11 Maret 2025 menjadi titik balik kehidupan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang sedang menjalani masa pensiun. 


Ketika dia baru saja sampai Manila dari lawatan ke Hongkong, pria yang sudah tampak mulai renta itu digelandang oleh polisi menuju sebuah ruangan. 


Dia ditangkap oleh Interpol atas tuduhan kejahatan kemanusiaan. International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda menerbitkan surat penangkapannya.


Rodrigo Duterte baru saja balik dari Hongkong menjenguk putrinya, Sara Duterte, yang sebulan lalu dimakzulkan DPR Filipina dari jabatan Wakil Presiden. 


Di Hongkong dia sekaligus melakukan kampanye untuk pemilu yang akan diadakan pada 12 Mei mendatang. 


Sara dimakzulkan karena mengancam membunuh Presiden Bongbong Marcos.


Begitu mendarat, Duterte langsung ditahan polisi. Interpol menangkap Duterte semasih berada di atas pesawat. 


Dia dibawa ke sebuah ruangan bersama anak dan istrinya beserta pengawal yang ikut serta dalam rombongan. 


Dia berjalan tertatih menggunakan tongkat. Ketika berbicara dia kelihatan letih. Mata kiri dan kanannya tampak tidak simetris, yang kiri terlihat lebih kecil dari yang sebelah kanan.


Duterte ditahan di Pangkalan Udara Villamor yang tidak jauh dari Bandara Internasional Ninoy Aquino. Pendukungnya langsung berkumpul dan berdemo di gerbang gedung. 


Mereka mengatakan apa yang telah dilakukan Duterte selama menjabat sebagai presiden yaitu melakukan pembunuhan secara masif kepada pengedar narkoba—yang menurut ICC di Den Haag merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan”—justru membuat Filipina tambah aman dan baik bagi rakyat.


“Walang puso,” teriak pendukungnya. Walang puso dalam Bahasa Tagalog artinya “tidak punya hati”—yang merupakan ungkapan kemarahan dan kekecewaan karena Interpol telah menahan Duterte secara paksa dan tidak semestinya. 


Setelah ditahan, Duterte memang dikabarkan gula darahnya naik dan kesehatannya menurun. 


Pasangannya, Honeylet Avanceña, sempat adu mulut penuh emosi dengan petugas polisi yang menangkap suaminya. 


Anda mau menangkap orang tua berusia 80 tahun yang sedang tidak sehat? Kira-kira begitu Honeylet protes dalam Bahasa Tagalog.


Spontan publik mengaitkan penangkapan Duterte oleh Interpol dengan perseteruan sengit antara Bongbong Marcos dengan Sara Duterte. 


Spekulasi beredar bahwa Duterte tidak mungkin ditangkap oleh Interpol seandainya hubungan antara Bongbong dan Sara tidak retak. 


Dulu Bongbong tidak mengizinkan Duterte ditangkap atas perintah ICC. Kini Bongbong berubah setelah pecah kongsi dengan Sara.


Sejumlah analis mengaitkan penangkapan Duterte dengan usaha Bongbong Marcos, putra mantan Presiden Ferdinand Marcos, dengan pemilu sela pada 12 Mei mendatang. 


Spekulasi beredar, langkah ini diambil Bongbong untuk menurunkan jumlah suara dan kursi partai yang terkait dengan klan Duterte. 


Namun para analis pada saat yang sama juga belum yakin apakah langkah ini akan berjalan sesuai rencana atau justru menaikkan popularitas Duterte—semacam backfire yang sama sekali tidak diantisipasi oleh Bongbong.


Duterte diterbangkan pukul 11.03 Selasa malam ke Den Haag dengan singgah di Dubai. Sekitar 10 menit kemudian Presiden Bongbong Marcos mengadakan konferensi pers di Istana Malacañang. 


Dengan muka seolah tanpa dosa Bongbong mengatakan pemerintahannya hanya menjalankan hukum internasional dan harus tunduk pada perintah ICC.


Di sinilah masalahnya. Duterte dan pendukungnya justru mempermasalahkan legalitas penangkapan itu. 


Kata mereka, Filipina bukanlah wilayah yurisdiksi ICC karena Filipina sudah keluar dari keanggotaan ICC ketika Duterte masih menjabat sebagai presiden.


Pelajaran apa yang bisa dipetik dari drama di Manila ini? Yaitu aliansi politik tanpa kesamaan ideologi yang kuat sangat rentan pecah di tengah jalan. 


Dua dinasti politik Filipina itu tidak punya kesamaan mendasar yang bisa menjadi basis perjuangan. 


Aliansi mereka pada Pemilu 2022 murni pragmatis untuk mengalahkan pasangan Leni Robredo-Francis Pangilinan dan pasangan Manny Pacquiao-Tito Sotto.


Hal yang sama bisa terjadi bila kita secara seksama mencermati politik di tanah air. Aliansi Prabowo-Jokowi murni untuk mengamankan suara pada Pemilu 2024. 


Prabowo bersedia menurunkan standar nilai yang dipegang selama ini dengan menerima Gibran “Fufufafa” anak haram konstitusi sebagai wakilnya dan terpaksa harus bekerja sama dengan Jokowi yang telah dua kali mencuranginya.


Di pihak Jokowi, dia membutuhkan Prabowo setelah PDIP tidak bisa dia jinakkan. Jokowi memerlukan pelindung setelah tidak lagi jadi presiden karena dia paham betul penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati telah menanti. 


Jokowi dengan sadar melakukan pelanggaran konstitusi, menipu publik, melakukan korupsi, melakukan pembunuhan brutal, dan memenjarakan lawan politik selama 10 tahun berkuasa secara zalim.


Sama sekali tidak ada ideologi atau nilai dasar yang bisa jadi perekat aliansi Prabowo-Jokowi. Kalaupun ada, pastilah komitmen kezaliman yang telah dilakukan Jokowi yang akan dilanjutkan Prabowo karena telah dibantu dalam pemenangan Pemilu. 


Semacam kontrak tidak tertulis untuk menabalkan pameo “partner in crime”—tapi kali ini dengan makna harfiah.


Goyahnya aliansi politik menjadi hal yang biasa dan terjadi di mana pun di seluruh dunia. Bila PDIP dengan Jokowi bisa pecah kongsi, aliansi Sara Duterte-Bongbong Marcos akhirnya bubar, maka apa jaminannya Prabowo-Jokowi akan terus bersatu? 


Apa lagi persatuan mereka murni digerakkan oleh pragmatisme politik—atau lebih tepatnya anarkisme politik—maka bubarnya persekutuan mereka hanya tinggal menunggu pemicu kecil saja.


Realitas politik sekarang menunjukkan rakyat mendesak Prabowo menangkap Jokowi penjahat kemanusiaan yang telah membawa Indonesia menuju kegelapan. 


Tuntutan ini semakin hari semakin kuat karena rakyat sudah sadar bahwa kerusakan yang ditimbulkan Jokowi sama sekali tidak bisa dimaafkan.


Batu uji Prabowo terletak pada kasus ini, apakah dia akan mendengar suara hati nurani rakyat yang sedang mencari keadilan atau justru memihak kezaliman besar yang telah dilakukan oleh Jokowi. 


Bila Prabowo salah dalam mendiagnosa masalah, maka kekuasaannya rentan untuk digoyang. Tuntutan mundur menggema dari banyak kota bila Prabowo terus melindungi Jokowi.


Dari Yogya kencang sekali tuntutan agar Prabowo-Gibran mundur oleh karena meluasnya kekecewaan terhadap situasi yang semakin memburuk hampir di semua bidang. 


Suara kekecewaan ini akan semakin dalam bila Prabowo menunjukkan gestur politik yang terus kelihatan ramah dan mesra dengan Jokowi.


Tuntutan ini bukan tanpa dasar. Dosa dan kejahatan Jokowi sangatlah besar, bahkan lebih besar daripada “dosa” Duterte—seandainya kebijakan menumpas gerbong narkoba itu bisa dikategorikan sebagai dosa. 


Sementara “dosa” Duterte hanya terfokus pada kebijakan dia dalam menangani gembong narkoba, kezaliman Jokowi sangatlah lengkap.


Jokowi melakukan pembunuhan dan penangkapan lawan politik tak bersalah, dia dan keluarganya melakukan korupsi yang sudah dilaporkan ke KPK, secara sengaja melanggar konstitusi, melakukan kebohongan publik, melakukan kampanye anti Islam secara masif, melakukan kriminalisasi, memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa, menggunakan buzzer bayaran untuk secara kotor membohongi, melakukan fitnah, dan membolak-balikkan fakta, dan banyak lagi.


Karena hal inilah maka opini publik sekarang berkembang bahwa bila Duterte yang kesalahannya terbatas dan masih diperdebatkan saja bisa ditangkap Interpol atas perintah dari ICC, maka mestinya Jokowi yang telah melakukan kejahatan begitu besar seharusnya langsung bisa ditangkap untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Tuntutan ini tidak berlebihan dan mengada-ada.


Tapi itu terpulang kembali ke Prabowo, apakah dia punya kehendak politik untuk menegakkan keadilan bagi rakyat dan negerinya. 


Di Filipina, kehendak politik dan gerak cepat Presiden Bongbong Marcos-lah yang menjadi kunci mengapa Duterte dengan gampang diekstradisi ke Belanda untuk menghadapi tuntutan ICC di Den Haag.


Prabowo kini harus melewati dilema yang sama sekali tidak rumit: apakah dia akan mengorbankan 270 juta rakyat demi seorang Jokowi? Menggunakan penalaran mana pun, maka Prabowo akan segera menangkap Jokowi bila dia betul-betul berjuang untuk bangsa dan negaranya. ***

Komentar