Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru telah memicu gelombang protes di berbagai daerah. Di Bandung, perlawanan terhadap regulasi ini mulai terlihat, terutama di basis-basis kampus yang dikenal sebagai pusat gerakan mahasiswa. Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, menilai bahwa pengesahan UU ini bisa menjadi pemicu revolusi di Indonesia.
“Basis-basis yang mempunyai kampus sudah mulai menunjukkan perlawanan terhadap UU TNI yang baru disahkan. Rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap DPR dan pemerintah. Ditambah dengan kondisi ekonomi yang memburuk, seperti meningkatnya angka PHK dan berkurangnya kelas menengah, situasi ini bisa meledak sewaktu-waktu,” ujar Sutoyo dalam pernyataannya kepada Redaksi www.suaranasional.com, Ahad (23/3).
Sejak UU TNI disahkan, berbagai kelompok mahasiswa mulai melakukan aksi demonstrasi. Di Bandung, ribuan mahasiswa turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap undang-undang yang mereka nilai berpotensi memperkuat dominasi militer dalam kehidupan sipil. Selain Bandung, aksi serupa juga mulai terlihat di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya.
Menurut Sutoyo, pengesahan UU TNI dianggap sebagai langkah mundur dalam demokrasi Indonesia dan adanya upaya untuk mengembalikan dominasi militer di ranah sipil, yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
“Pengesahan UU ini karena membuka ruang bagi militer untuk semakin berperan dalam kehidupan masyarakat sipil. Ini berbahaya bagi demokrasi,” ujar Sutoyo.
Selain mahasiswa, kelompok aktivis hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil juga mengkritik kebijakan ini. Mereka menilai bahwa UU TNI yang baru akan memperlemah mekanisme kontrol sipil terhadap institusi militer, sehingga berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang.
Selain isu militerisasi, kondisi ekonomi yang memburuk turut memperbesar ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin meningkat dan melemahnya daya beli masyarakat menjadi faktor tambahan yang memperparah situasi.
Menurut laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Indonesia naik sebesar 1,5% dalam tiga bulan terakhir akibat gelombang PHK di sektor industri dan ritel. Kelas menengah yang selama ini menjadi penopang ekonomi nasional juga semakin tergerus akibat kenaikan harga barang dan kebijakan fiskal yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat.
“Situasi ini sangat berbahaya karena bukan hanya soal UU TNI, tetapi juga soal ekonomi yang kian terpuruk. Ketika masyarakat semakin terhimpit secara ekonomi dan pada saat yang sama mereka kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, potensi terjadinya ledakan sosial sangat besar,” ujar Sutoyo.
Ia menilai bahwa kondisi saat ini memang cukup rawan, tetapi masih belum mencapai titik yang bisa disebut sebagai revolusi. untuk sebuah revolusi terjadi, diperlukan beberapa faktor utama, seperti kepemimpinan oposisi yang kuat, dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat, serta lemahnya kontrol pemerintah terhadap situasi.
“Sejauh ini, kita melihat ada ketidakpuasan yang semakin besar di masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa dan kelas menengah. Namun, untuk sampai ke tahap revolusi, masih diperlukan konsolidasi yang lebih besar dari berbagai elemen masyarakat,” kata Sutoyo.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa jika pemerintah gagal mengelola ketidakpuasan ini dengan baik, situasi bisa memburuk dan berujung pada gelombang protes yang lebih besar.
“Sejarah menunjukkan bahwa ketidakstabilan ekonomi sering kali menjadi pemicu utama perubahan politik yang drastis. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, potensi eskalasi tetap ada,” tambahnya.
Meski demikian, kritik terhadap UU ini terus menguat, dan dengan semakin meluasnya aksi protes di berbagai daerah, pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan suara masyarakat.
Pengesahan UU TNI telah membuka babak baru dalam dinamika politik Indonesia. Di satu sisi, pemerintah mengklaim bahwa aturan ini diperlukan untuk menjaga stabilitas nasional. Namun, di sisi lain, kelompok mahasiswa, aktivis, dan akademisi menilai bahwa regulasi ini merupakan ancaman bagi demokrasi.
“Dengan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan DPR, serta memburuknya kondisi ekonomi, situasi ini bisa menjadi awal dari ketegangan politik yang lebih besar di masa depan. Apakah Indonesia benar-benar berada di ambang revolusi? Ataukah ini hanya gelombang perlawanan sesaat yang akan mereda seiring waktu?” tanya Sutoyo.
Sumber: suaranasional
Foto: Ilustrasi Revolusi (IST)
Artikel Terkait
Reza Indragiri: Sekiranya Kepala Babi Dikirim kepada Jokowi, Apakah Saran Hasan Nasbi Sama?
Usai Bu Guru Salsa, Bidan Rita dan Jaksa Tasya, Giliran Link Video Calla Pramuka Diburu Warganet
Gunakan Fake BTS, Dua WN China Bobol Rekening Korban via SMS Phising: Raup Rp 473 Juta
Pemilik Kecantikan Laporkan Miss Indonesia Favorit 2014 atas Dugaan Intimidasi