Ramadan dan Semangat Perlawanan Terhadap Kezaliman

- Jumat, 28 Maret 2025 | 04:20 WIB
Ramadan dan Semangat Perlawanan Terhadap Kezaliman


Ramadan tiba dengan nuansa ketenangan spiritual yang menyelimuti hati. Bulan suci ini adalah momentum bagi umat Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan diri dari dosa, dan memperkuat solidaritas sosial. Namun, di tengah keberkahan Ramadan, masih banyak ketidakadilan yang merajalela. Kezaliman hadir dalam berbagai bentuk—dari ketimpangan ekonomi, kesewenang-wenangan kekuasaan, hingga penindasan terhadap hak-hak rakyat kecil.

Di sebuah desa yang jauh dari sorotan media, seorang ibu bernama Siti duduk di serambi rumahnya, menunggu waktu berbuka dengan hanya segelas teh dan sepotong singkong. Suaminya, seorang buruh tani, kehilangan pekerjaan karena lahan garapan mereka diambil alih oleh korporasi besar. Mereka adalah potret dari banyak rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan. Ramadan bagi mereka bukan sekadar perjuangan menahan lapar dan haus, tetapi juga menghadapi kerasnya kehidupan yang semakin menekan.

Namun, Ramadan juga membawa semangat perjuangan. Dalam sejarah Islam, bulan suci ini sering kali menjadi momen kebangkitan dan perlawanan terhadap kezaliman. Dari Perang Badar hingga pembebasan Makkah, Ramadan adalah saksi bisu dari keberanian para pejuang yang menegakkan keadilan. Semangat itu harus terus hidup di tengah masyarakat yang kian kehilangan hak-haknya.

Kezaliman dalam Berbagai Wajah: Politik, Ekonomi, dan Sosial

Kezaliman di era modern tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik atau penjajahan terang-terangan. Ia menjelma dalam kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, dalam penguasaan sumber daya oleh segelintir elite, dan dalam manipulasi informasi yang membodohi publik.

Pertama, kezaliman politik. Demokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk kesejahteraan rakyat sering kali hanya menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan. Lihatlah bagaimana hukum kerap kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para koruptor berdasi melenggang bebas, sementara rakyat kecil yang mencuri untuk bertahan hidup dihukum berat. Dalam suasana Ramadan, hati nurani seharusnya lebih peka terhadap realitas ini.

Kedua, kezaliman ekonomi. Ketimpangan ekonomi semakin tajam. Sementara segelintir orang menikmati kekayaan berlimpah, jutaan rakyat berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Harga kebutuhan pokok melonjak, tetapi upah buruh tetap stagnan. Subsidi untuk rakyat dipangkas, sementara para oligarki mendapat insentif besar dari pemerintah. Ramadan mengajarkan nilai berbagi dan kepedulian sosial, namun bagaimana nilai ini dapat diwujudkan jika sistem ekonomi justru semakin timpang?

Ketiga, kezaliman sosial. Perampasan hak atas tanah, ketidakadilan gender, dan diskriminasi masih menjadi masalah yang menghantui masyarakat kita. Banyak warga desa yang kehilangan tanahnya karena proyek-proyek strategis nasional yang lebih menguntungkan investor dibanding rakyat. Banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja siang malam dengan upah rendah dan tanpa perlindungan yang layak. Semua ini adalah bentuk kezaliman yang harus dilawan, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan aksi nyata.

Ramadan bukan hanya bulan ibadah, tetapi juga bulan pembangkitan kesadaran. Sejarah mencatat bahwa di bulan ini banyak peristiwa besar terjadi, termasuk Perang Badar yang menjadi simbol kemenangan kaum tertindas atas kezaliman. Jika umat Islam terdahulu menjadikan Ramadan sebagai momentum perjuangan fisik, maka di era modern ini, Ramadan bisa menjadi momen kebangkitan intelektual dan sosial.

Umat Islam harus menjadikan Ramadan sebagai momen untuk kembali mempertajam kepekaan terhadap ketidakadilan. Bukan hanya sibuk dengan ibadah ritual, tetapi juga memikirkan bagaimana berkontribusi dalam menciptakan keadilan sosial.

Puasa mengajarkan kita untuk merasakan penderitaan mereka yang kurang beruntung. Tetapi empati tanpa aksi nyata adalah sia-sia. Ramadan harus menjadi titik balik untuk memperkuat gerakan sosial, baik dalam bentuk bantuan langsung maupun advokasi kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” Ramadan harus menjadi momentum untuk menyuarakan kebenaran dan menolak kezaliman. Kita tidak boleh diam saat melihat ketidakadilan terjadi di sekitar kita.

Begitulah seharusnya Ramadan dimaknai. Tidak hanya sebagai ritual spiritual, tetapi juga sebagai semangat perlawanan terhadap kezaliman. Sebab, puasa sejatinya adalah latihan untuk menahan diri dari segala bentuk keburukan, termasuk dari diamnya hati nurani terhadap ketidakadilan.

Ramadan dan Harapan untuk Negeri

Di tengah malam yang sunyi, azan berkumandang, menandakan waktu sahur. Di berbagai penjuru negeri, ada yang sahur dengan hidangan mewah, tetapi ada pula yang hanya berbuka dengan air putih dan sedikit makanan sisa. Ramadan menjadi cermin ketimpangan yang nyata di masyarakat.

Namun, Ramadan juga membawa harapan. Bahwa setiap tetes keringat rakyat kecil yang berjuang, setiap suara yang berani menentang kezaliman, dan setiap doa yang dipanjatkan dengan tulus akan menjadi cahaya di tengah kegelapan.

Kezaliman tidak akan bertahan selamanya. Ramadan mengajarkan bahwa kesabaran dan perjuangan akan berbuah kemenangan. Seperti fajar yang pasti menyingsing setelah malam yang panjang, keadilan pun akan terbit ketika umat bersatu dalam perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman.

Maka, di Ramadan ini, mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita hanya akan menjadi saksi dari kezaliman, ataukah kita akan berdiri sebagai pejuang keadilan?

Sebagaimana spirit Ramadan yang mengajarkan kesabaran dan keberanian, mari kita jadikan bulan suci ini sebagai titik balik menuju perubahan. Sebab, di balik lapar dan dahaga, tersembunyi kekuatan yang mampu mengguncang tirani.

Ramadan bukan hanya tentang ketundukan pada aturan ilahi, tetapi juga latihan bagi jiwa untuk melawan kelemahan dan ketidakadilan. Sebagaimana tubuh belajar menahan haus dan lapar, hati dan pikiran juga harus belajar menahan ketidakpedulian. Tidak cukup hanya sekadar berpuasa jika kita masih membiarkan kezaliman terjadi di depan mata.

Di setiap lembar sejarah peradaban Islam, Ramadan selalu menjadi titik balik bagi kebangkitan moral dan sosial. Ia bukan hanya bulan refleksi, tetapi juga bulan aksi. Perang Badar, yang terjadi di bulan Ramadan, bukan hanya tentang pertarungan fisik, tetapi juga simbol bagaimana iman dan keberanian bisa mengalahkan kezaliman meski dengan jumlah yang lebih kecil. Inilah pesan utama Ramadan: tidak ada tirani yang bisa bertahan lama jika ada keberanian untuk melawan.

Oleh: Sutoyo Abadi
Koordinator Kajian Politik Merah Putih
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar