Tiga Tragedi, Seribu Nyawa, dan Hutang Moral Prabowo-Puan Kepada Rakyat

- Senin, 07 April 2025 | 10:50 WIB
Tiga Tragedi, Seribu Nyawa, dan Hutang Moral Prabowo-Puan Kepada Rakyat


Tiga Tragedi, Seribu Nyawa, dan Hutang Moral Prabowo-Puan Kepada Rakyat


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik


Menjelang 200 hari kerja pemerintahan baru, Presiden Prabowo Subianto dan Ketua DPR RI Puan Maharani punya satu utang besar yang harus mereka kejar: kebenaran atas wafatnya 894 petugas KPPS pada Pemilu 2019. 


Tragedi itu adalah luka terbuka demokrasi Indonesia—dan hingga hari ini, tak satu pun aktor negara bertanggung jawab.


Jika kita percaya bahwa nyawa manusia adalah hak asasi yang paling suci, maka kematian ratusan penyelenggara pemilu ini bukan sekadar statistik. Mereka gugur saat menjalankan tugas negara: mengawal proses demokrasi. 


Namun anehnya, sampai hari ini, negara—melalui pemerintah dan aparat hukumnya—belum juga mengungkap penyebab kematian mereka secara tuntas. 


Tidak ada otopsi menyeluruh, tidak ada penyelidikan serius, bahkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang sempat dijanjikan DPR hasil audiensi dengan Tim Aliansi Masyarakat Peduli Tragedi Kemanusiaan Pemilu (AMP-TKP) pun tak kunjung dibentuk.


Padahal, angka korban awal yang tercatat pada 2019 “hanya” 604 orang. Belakangan jumlahnya melonjak menjadi 894 jiwa. 


Semua ini terjadi dalam rentang waktu satu bulan: antara 17 April hingga 14 Mei 2019. Wajar jika masyarakat mencium ada yang tidak beres. Mereka butuh keadilan, bukan basa-basi politik.


Tragedi Lain: KM 50 dan Kanjuruhan


Tragedi KM 50—pembunuhan terhadap enam laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab—menambah daftar gelap kekerasan oleh aparat. 


Dua pelaku langsung memang sudah disidang dan divonis bebas karena dianggap “terpaksa” melakukan pembunuhan. 


Tapi bagaimana dengan atasan mereka? Siapa yang memerintahkan operasi itu? Hingga kini, otak di balik peristiwa berdarah itu belum tersentuh hukum.


Begitu pula tragedi Kanjuruhan, Malang, yang menewaskan lebih dari 100 suporter sepak bola pada 2022. 


Lagi-lagi, nyawa rakyat jadi tumbal kelalaian negara. Namun penyelidikan seolah berjalan di tempat. 


Tidak ada transparansi, tidak ada evaluasi menyeluruh, dan lagi-lagi: tidak ada rasa bersalah dari pemegang kekuasaan saat itu.


Ketiga peristiwa ini—KPPS 2019, KM 50, dan Kanjuruhan—telah merenggut hampir 1.000 nyawa warga negara Indonesia yang tak bersalah. 


Apakah kita akan terus menormalisasi tragedi? Apakah nyawa rakyat hanya dihitung sebagai collateral damage dalam perjalanan politik kekuasaan?


Mengapa Prabowo dan Puan Harus Bertindak


Prabowo adalah presiden baru. Puan, Ketua DPR RI. Mereka kini jadi dua tokoh sentral di panggung politik nasional. 


Keduanya bukan sekadar mewarisi kekuasaan, tapi juga mewarisi utang moral dan hukum dari pemerintahan sebelumnya, yakni Presiden Joko Widodo. Dan seperti hukum alam: kekuasaan datang bersama tanggung jawab.


Tidak ada alasan lagi untuk menunda. Pemerintah harus berani membentuk TGPF independen untuk ketiga tragedi ini. 


Hukum tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan saja. Harus diusut siapa pemberi perintah, siapa yang menutup-nutupi, dan siapa yang membiarkan kejahatan ini terjadi.


Negara hukum yang sehat tidak boleh tunduk pada impunitas. Apalagi konstitusi kita secara eksplisit menyatakan: setiap warga negara sama di mata hukum. Tidak ada kekebalan. Tidak ada pengecualian, bahkan bagi pejabat setinggi presiden sekalipun.


Menolak Lupa, Menuntut Keadilan


Rakyat Indonesia punya hak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka berhak mendapatkan keadilan atas kehilangan anggota keluarga mereka. 


Demokrasi bukan hanya tentang pemilu setiap lima tahun, tetapi juga soal bagaimana negara memperlakukan warganya—terutama saat warganya gugur karena menjalankan tugas negara.


Kini semua mata tertuju pada Prabowo dan Puan. Apakah mereka akan diam, atau memilih jalan keberanian?


Satu hal yang pasti: kita tidak akan lupa. Dan keadilan yang tertunda terlalu lama, akan menjadi kejahatan baru yang lebih dalam.


***

Komentar