Prabowo The Last Emperor, Jangan Biarkan Darah Rakyat Mengalir Ditindas Kekuasaan

- Minggu, 13 April 2025 | 13:35 WIB
Prabowo The Last Emperor, Jangan Biarkan Darah Rakyat Mengalir Ditindas Kekuasaan


Oleh: Agusto Sulistio*

BANGUN tidur pun kadang berdarah-darah. Seorang ayah yang terburu-buru mencari nafkah, menyalakan motor dengan sisa kantuk dan perut kosong, menabrak pagar rumah tetangga karena kakinya tersandung besi yang menjulur.

Luka itu kecil, tapi jadi simbol besar dari nasib rakyat yang terus-menerus disakiti oleh sistem yang abai. Negara ini, yang mestinya menghadirkan rasa aman sejak rakyat membuka mata hingga menutupnya kembali di malam hari, justru membiarkan luka-luka itu mengalir setiap hari tanpa arah penyembuhan.

Ini bukan cerita satu orang. Ini potret jutaan rakyat Indonesia yang setiap harinya menjalani hidup dengan risiko yang seharusnya tak perlu mereka tanggung. Jalanan rusak, jaminan kesehatan lemah, keamanan kerja rendah, harga sembako melambung, oknum pejabat hidup dengan fasilitas mewah dari uang rakyat.

Di balik jubah jabatan, ternyata ada oknum yang menyembunyikan rompi tahanan. Mereka korupsi. Mereka khianat. Mereka menyelewengkan amanah kekuasaan yang dipercayakan rakyat lewat pemilu yang dulu katanya penuh harapan.

Rakyat disuruh sabar. Disuruh percaya bahwa semua akan diperbaiki perlahan. Tapi di saat yang sama, rakyat juga disuruh bayar ini-itu dengan pajak yang naik tiap tahun. Sementara gaji mereka tak pernah cukup, dan harga-harga terus menyiksa.

Rakyat hidup dalam risiko karena negara gagal menjalankan satu tugas utamanya, yakni menjamin keselamatan dan kesejahteraan warganya sebagaimana diperintahkan konstitusi.

Konstitusi itu bukan sekadar kitab hukum. Ia adalah perjanjian luhur yang seharusnya menjadi penjaga kehidupan seluruh rakyat. Pasal demi pasalnya menegaskan bahwa keselamatan, kesejahteraan, dan keadilan adalah hak setiap warga negara.

Tapi kenyataannya, yang dijaga justru kepentingan segelintir elite. Rakyat disuruh bertahan dalam kesengsaraan, sementara masih ada kekuasaan yang bekerja demi dinasti dan jaringan oligarki.

Hidup rakyat Indonesia hari ini seperti berjudi dengan takdir. Pergi kerja bisa tak pulang. Berobat bisa tambah utang. Anak sekolah bisa jadi buruh atau putus sebelum lulus. Semua karena sistem masih berisi budaya yang mendorong pejabat menjadi tamak, bukan negarawan amanah, mungkin karena rekrutmen yang benar sudah tergilas dengan perencanaan korup sedari awal.

Kita tidak sedang kekurangan sumber daya, tapi kekurangan keberanian untuk membersihkan kursi kekuasaan dari mereka yang tak layak. Lihat bagaimana beberapa menteri menghadap ke mantan pemimpin membahas soal dugaan ijazah palsu dan dinasti politik, seperti tak ada aturan bagi pejabat negara yang seharusnya terhormat dan berwibawa.

Namun di tengah gelapnya keadaan itu, rakyat kini menaruh harapan besar kepada sosok yang telah dikenal sebagai pejuang, Prabowo Subianto.

Penulis, dalam banyak opini sebelumnya, menyebutnya "Prabowo The Last Emperor" bukan gelar kosong, tapi keyakinan akan ketulusan dan tekad beliau sebagai pemimpin harapan terakhir perubahan "era akhir reformasi" untuk menegakkan hukum dengan tegas, membela keadilan, dan menghadirkan kemakmuran tanpa tunduk pada tekanan oligarki dan permainan dinasti politik yang selama ini menyengsarakan rakyat.

Pendapat penulis, era reformasi akan berakhir dan masuk ke era Indonesia Emas, bahaya jika reformasi tidak dituntaskan dahulu.

Prabowo bukan datang dari sistem yang nyaman. Ia berulang kali berdiri di luar lingkaran kekuasaan dan memilih jalan perjuangan, bahkan saat jalur itu lebih berat.

Maka, ketika akhirnya rakyat memilih dan mengantarnya menjadi Presiden, pidatonya yang menggelegar usai dilantik bukan sekadar seremoni, tapi nyala semangat dan harapan yang menyalur ke jutaan hati rakyat Indonesia.

Percayalah, rakyat bersamamu, Pak Prabowo. Para pendukungmu, khususnya mereka yang aktif pada Pilpres 2014 dan 2019 tak pernah lelah memperjuangkanmu, akan tetap berdiri di belakangmu sampai titik darah penghabisan asal engkau berdiri di pihak rakyat.

Bukan untuk membela segelintir elite, tapi membela mereka yang setiap hari bangun pagi dengan luka dan harapan yang belum juga sembuh.

Seperti pesan Presiden ke-4 RI, almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) "Prabowo Tulus", bahwa pemimpin tulus untuk rakyat tak biarkan negeri ini hancur dan kekuasaan hanya berputar di lingkaran oligarki dan dinasti kekuasaan.

Dan kini, sejarah memberi kita kesempatan untuk membuktikan bahwa negeri ini masih bisa diselamatkan, jika pemimpinnya berani menolak tunduk dan memilih berpihak kepada rakyat.

Saatnya membuktikan, bahwa takdir Indonesia bukan di tangan para perampok kekuasaan, tapi di tangan rakyat bersama seorang pemimpin yang benar-benar mengabdi. rmol news logo article

*) Mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR era tahun 90-an, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)

Komentar