Polemik Ijazah Bikin Resah, Prabowo: Mumet Tenan Mas Dirman!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Enam bulan sudah Prabowo Subianto menjabat Presiden Republik Indonesia. Tapi suasana Istana tak sehangat bayangan para pendukungnya dulu.
Bukannya angin sepoi-sepoi kekuasaan yang menyapa, justru badai yang tak kunjung reda.
Di meja kerjanya, mungkin Prabowo sedang menyadari: kursi Presiden ternyata lebih panas daripada medan tempur.
Sejak dilantik pada Oktober 2024, Prabowo seperti mewarisi bom waktu.
Pemerintahan sebelumnya, meski meninggalkan citra pembangunan fisik di sana-sini, juga mewariskan utang, beban fiskal, serta barisan menteri yang lebih loyal pada masa lalu ketimbang masa depan.
Kas Negara Kosong, Janji Jadi Dilema
Program andalan Prabowo–makan siang gratis–berubah menjadi perdebatan nasional.
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan, anggaran negara pada kuartal pertama 2025 mengalami tekanan berat, dengan defisit membengkak hingga 3,2 persen dari PDB, mendekati batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dulu jadi andalan Jokowi, kini tampak berjalan di atas tali, mencoba meredam ambisi politik dengan realitas fiskal.
Kepada media, Prabowo sempat mengatakan akan mencari “sumber pembiayaan alternatif” dan “investasi strategis”, tapi sejauh ini belum ada rincian konkret.
Di balik layar, beberapa kementerian justru memotong anggaran pendidikan dan kesehatan demi menopang program populis tersebut.
Satu pejabat eselon I di Kemenkeu yang enggan disebut namanya mengatakan, “Jujur saja, ini kebijakan politik, bukan kebijakan fiskal. Kita sedang membayar janji kampanye dengan masa depan anggaran negara.”
Menteri-menteri Mbalelo
Namun tak hanya soal anggaran yang bikin kepala negara pening. Di dalam Istana, beberapa menteri yang dititipkan Jokowi mulai menunjukkan sikap mbalelo.
Ada yang terang-terangan menolak instruksi Presiden, ada pula yang absen dalam rapat penting, bahkan ada yang masih aktif dalam agenda politik pribadi sang mantan presiden.
Yang paling mencolok adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang disebut-sebut masih rutin “berkonsultasi” ke Solo ketimbang ke Istana.
Begitu pula beberapa menteri muda yang dalam bahasa seorang pengamat “masih menunggu komando dari pusat kekuasaan yang sebenarnya.”
Alih-alih membantu konsolidasi kekuasaan, mereka justru menciptakan friksi di dalam kabinet.
Istana kini tampak seperti kapal dengan dua nahkoda: satu di depan layar, satu lagi di bawah geladak.
Ijazah Palsu: Bola Salju yang Menerjang
Dan di luar Istana, isu ijazah palsu yang semula dianggap kampanye hitam kini menjelma jadi bom waktu.
Sejumlah LSM dan individu telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung, mempertanyakan keabsahan dokumen yang diajukan Prabowo saat mendaftar sebagai capres.
Aliansi masyarakat sipil bahkan telah merilis timeline ketidaksesuaian data pendidikan Prabowo yang beredar luas di media sosial.
Beberapa rektor dan pakar hukum tata negara mulai angkat suara. Mereka menyebut isu ini tak bisa lagi disapu ke bawah karpet.
Salah satu pengacara publik mengatakan, “Kalau kita mengabaikan isu integritas sejak awal, maka jangan heran bila krisis kepercayaan pada institusi akan makin besar. Ini bukan soal pribadi, tapi soal legitimasi.”
Mumet yang Struktural
Persoalan-persoalan yang menimpa Prabowo bukan sekadar soal teknis birokrasi. Ini adalah konsekuensi dari koalisi besar hasil kompromi politik yang terlalu mahal.
Di bawah nama “rekonsiliasi nasional”, Jokowi berhasil menempatkan loyalisnya di berbagai titik strategis. Namun hasilnya justru menciptakan dualisme kekuasaan.
Prabowo kini terjebak dalam struktur yang tidak sepenuhnya ia kendalikan. Ia Presiden, ya, tapi tak benar-benar punya kuasa mutlak.
Dalam banyak isu strategis seperti kelanjutan proyek IKN, pengelolaan energi, bahkan pemilihan jaksa agung dan kapolri, pengaruh Jokowi dan kroninya masih kentara.
Menuju Krisis Kepemimpinan?
Jika kondisi ini berlarut, bukan tak mungkin Prabowo hanya akan menjadi simbol kekuasaan belaka—semacam monarch without crown.
Semua keputusan strategis akan dikendalikan oleh elite-elite bayangan yang sudah menanam kaki terlalu dalam.
Di titik ini, publik pun bertanya: apakah Prabowo akan melawan dan merebut penuh otoritasnya, atau memilih diam dan menjadi presiden transisi yang membiarkan bayang-bayang masa lalu terus menari-nari di istana?
Dan mungkin, seperti yang dikatakan seorang pengamat politik di podcast mingguan: “Kalau Prabowo tak segera keluar dari jebakan ini, ia akan dikenal sebagai presiden yang paling cepat kehilangan momentum legitimasi.”
Sementara itu, di ruangannya yang sunyi di Istana, Prabowo mungkin sedang duduk memandangi lukisan Jenderal Besar Soedirman, sambil bergumam pelan: “Mumet tenan, Pak Dirman…”
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Viral! Tulisan Lorem Ipsum di Tugu Titik Nol IKN Jadi Sorotan Warganet, Asli Atau Editan?
Cerita Mentan Amran Pernah Ditegur Wapres Gara-Gara Tutup Perusahaan Mafia Beras
Macet di Tanjung Priok Bikin Resah, Pramono Minta Maaf
Ridwan Kamil Laporkan Lisa Mariana ke Bareskrim