Menduga Pesan Rektor UGM Dibalik Kisruh Ijazah Jokowi: Diam Adalah Cemas

- Sabtu, 19 April 2025 | 15:20 WIB
Menduga Pesan Rektor UGM Dibalik Kisruh Ijazah Jokowi: Diam Adalah Cemas


Menduga Pesan Rektor UGM Dibalik Kisruh Ijazah Jokowi: 'Diam Adalah Cemas'


Di tengah sorotan tajam soal polemik keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, sosok Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Ova Emilia menjadi perhatian publik.


Ketidakhadirannya dalam forum klarifikasi bersama para alumni dan aktivis yang menyoal keabsahan ijazah Jokowi menuai berbagai penafsiran—dari sikap menghindar hingga dugaan adanya tekanan politik.


Namun, di balik ketidakhadirannya itu, tersembunyi sebuah pesan yang kuat. 


UGM sebagai institusi akademik memilih menjaga ketenangan, ketertiban, dan marwah kampus di tengah pusaran isu yang semakin politis.


Dikabarkan, Prof. Ova tidak menemui langsung Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) serta ratusan alumni UGM yang hadir ke kampus pada 15 April 2025 untuk meminta klarifikasi terkait dugaan pemalsuan ijazah Jokowi.


Pihak universitas hanya mengutus Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan menerima perwakilan alumni di ruangan terbatas di Fakultas Kehutanan, bukan di Gedung Rektorat.


Dokter Tifauzia Tyassuma (dr. Tifa), salah satu alumni UGM dan penggiat media sosial, mengkritik keras langkah tersebut.


Ia menyebut ketidakhadiran Prof. Ova sebagai bentuk “ketakutan” dan menyiratkan adanya kesadaran akan kekeliruan yang terjadi. 


Namun, jika ditarik lebih jauh, sikap diam Rektor UGM bisa juga dibaca sebagai bentuk kehati-hatian akademik di tengah gelombang tekanan luar kampus yang sarat kepentingan.


Prof. Ova Emilia  bukan sosok sembarangan. Ia adalah Guru Besar di bidang Obstetri dan Ginekologi Sosial, mantan Dekan Fakultas Kedokteran, dan kini memimpin UGM sejak 2022 sebagai rektor perempuan kedua dalam sejarah kampus tersebut.


Reputasinya dalam pendidikan kedokteran dan komitmennya terhadap inklusivitas, keadilan akademik, dan pemberantasan kekerasan seksual menjadi pondasi kepemimpinannya yang dikenal tegas tapi tidak sensasional.


Pesannya tecermin dalam program-programnya, dari memastikan tidak ada mahasiswa putus kuliah karena biaya, hingga memperjuangkan UGM sebagai kampus yang dekat dengan rakyat lewat hilirisasi riset dan inovasi.


Meski kritik mengalir, Rektor UGM tampak menempatkan posisi kampus sebagai institusi ilmiah yang tidak boleh tergiring pada narasi politik yang kabur. 


Menjaga jarak dari kegaduhan bisa jadi merupakan pilihan etis yang sulit, namun penting, demi mempertahankan integritas akademik.


Namun, di sisi lain, publik tetap menuntut transparansi. 


Banyak yang menilai bahwa justru dengan bersuara terbuka, UGM bisa memulihkan kepercayaan publik sekaligus menegaskan posisinya sebagai benteng kebenaran dan ilmu pengetahuan.


Diam atau bicara—dua-duanya punya konsekuensi. Dan pilihan Prof. Ova Emilia tampaknya adalah menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk berbicara.


***

Komentar