Monolog Gibran: Strategi Citra atau Upaya Nyata Menarik Perhatian Publik?

- Selasa, 22 April 2025 | 15:35 WIB
Monolog Gibran: Strategi Citra atau Upaya Nyata Menarik Perhatian Publik?


Monolog Gibran: 'Strategi Citra atau Upaya Nyata Menarik Perhatian Publik?'


Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini mencuri perhatian publik lewat sebuah video monolog yang ia unggah di kanal YouTube pribadinya.


Dalam video tersebut, Gibran membahas isu strategis tentang bonus demografi di Indonesia. 


Namun, langkah komunikasi politik ini memunculkan perdebatan: apakah video tersebut merupakan strategi komunikasi yang tulus atau sekadar pencitraan belaka?


Menurut Lili Romli, seorang peneliti senior dari Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), wajar bila sebagian masyarakat melihat video itu sebagai bagian dari pencitraan politik.


Dalam wawancara bersama media, Lili menyebutkan bahwa publik bisa saja membandingkan gaya bicara Gibran dalam video dengan penampilannya ketika berbicara secara langsung. 


Ketika berbicara tatap muka, menurut Lili, Gibran belum menunjukkan performa komunikasi yang mengesankan.


“Gaya bicaranya di video terlihat lebih lancar, terstruktur, dan sistematis. Hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa monolog tersebut disiapkan secara matang untuk membentuk citra tertentu,” ujar Lili.


Ia menambahkan, jika masyarakat menilai monolog itu tidak otentik, bisa jadi itu hanya dianggap sebagai angin lalu—hanya sekadar usaha membangun pencitraan politik, bukan komunikasi yang murni.


Strategi Aman di Tengah Tekanan Politik


Dalam konteks politik nasional yang penuh tekanan dan pengawasan publik, memilih bentuk penyampaian pesan lewat video monolog memang menjadi pilihan yang relatif aman.


Tidak ada interupsi, tidak ada potensi salah ucap secara spontan, dan yang terpenting: pesan bisa dikontrol sepenuhnya dari awal hingga akhir. Ini menjadi nilai tambah dari pendekatan yang dipilih Gibran.


Apalagi tema yang diangkat dalam monolog tersebut sangat relevan dengan masa depan Indonesia—bonus demografi.


Ini adalah isu besar yang menyangkut potensi jumlah penduduk usia produktif yang melonjak dan bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional.


Gibran tampaknya ingin menyampaikan bahwa ia peduli dan memahami isu-isu strategis, terutama yang berkaitan dengan generasi muda.


Menurut Lili, ketika tema ini dikaitkan dengan gaya penyampaian yang rapi dan tertata, maka bisa muncul efek positif, terutama jika diterima baik oleh kalangan milenial dan Gen Z.


“Jika generasi muda merasa terwakili, tentu ini bisa menjadi modal sosial yang besar bagi Gibran, bahkan bisa membentuk landasan politik yang lebih kuat ke depan,” terang Lili.


Menjawab Peran Wapres yang Kerap Dianggap Pasif


Satu hal yang cukup menarik dari langkah Gibran ini adalah keberaniannya tampil aktif sebagai wakil presiden. 


Secara umum, peran wapres seringkali dipandang pasif—lebih banyak menunggu instruksi dari presiden dan tampil bila diminta.


Namun, lewat monolog ini, Gibran tampak ingin memposisikan diri sebagai figur yang tidak hanya menunggu tugas, tetapi aktif membentuk wacana publik.


Lili menilai, keaktifan ini mencerminkan adanya keinginan Gibran untuk keluar dari bayang-bayang peran wapres yang konvensional.


“Dia terlihat ingin lebih terlibat dalam percakapan nasional dan menunjukkan bahwa dia juga punya gagasan. Ini sah-sah saja, asalkan tetap dalam batasan yang tepat,” kata Lili.


Meski demikian, ia mengingatkan bahwa sebagai pejabat tinggi negara, Gibran harus berhati-hati dalam setiap pernyataan maupun langkah yang diambil. 


Setiap gerakan politik, sekecil apa pun, akan selalu diamati dan dimaknai oleh publik.


Dalam konteks ini, motif politik hampir tidak bisa dihindari, karena masyarakat cenderung menilai semua tindakan pejabat publik sebagai bagian dari agenda tertentu.


“Tidak ada ruang kosong dalam politik,” ujar Lili. 


“Setiap ucapan atau tindakan pejabat, apalagi di level wakil presiden, akan selalu dikaitkan dengan strategi politik. Oleh karena itu, akurasi pesan dan ketepatan langkah menjadi hal yang sangat penting.”


Potensi dan Risiko dari Komunikasi Politik Modern


Langkah Gibran memilih jalur komunikasi digital lewat YouTube juga mencerminkan pergeseran gaya komunikasi politik masa kini.


Platform digital memungkinkan politisi menjangkau masyarakat luas tanpa perlu melalui media arus utama. 


Kontrol narasi pun lebih besar, dan kedekatan dengan publik bisa lebih mudah dibangun secara personal.


Namun, pendekatan ini juga membawa risiko. Publik saat ini makin cerdas dan kritis. Konten yang dinilai terlalu “disusun” atau tidak autentik justru bisa memicu reaksi negatif.


Jika pesan yang disampaikan terasa terlalu dibuat-buat, maka alih-alih membangun citra, yang muncul bisa justru sebaliknya—skeptisisme.


Oleh sebab itu, konsistensi antara ucapan dan tindakan menjadi kunci utama. 


Bila Gibran benar-benar ingin membangun reputasi politik yang kuat, maka pesan-pesan seperti dalam video monolog itu perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata yang sejalan dengan narasi yang ia bangun.


Misalnya, jika ia bicara tentang bonus demografi, maka kebijakan konkret yang mendukung generasi muda harus segera terlihat.


Kesimpulan: Antara Citra dan Konten yang Substansial


Monolog yang disampaikan Gibran Rakabuming Raka bisa dilihat dari dua sisi. 


Di satu sisi, itu bisa dianggap sebagai bentuk pencitraan yang disengaja upaya membangun narasi politik pribadi.


Tapi di sisi lain, bila dipandang dari sudut komunikasi strategis, langkah ini justru menunjukkan kepiawaian Gibran dalam memanfaatkan momentum dan isu untuk memperkuat posisinya sebagai wakil presiden muda yang progresif.


Namun yang paling penting, bagaimana publik merespons upaya semacam ini akan sangat bergantung pada kesinambungan antara ucapan dan tindakan.


Bila video tersebut hanya berdiri sebagai konten visual tanpa tindak lanjut nyata, maka publik akan cepat kehilangan kepercayaan.


Sebaliknya, jika itu menjadi titik awal dari rangkaian aksi konkret untuk menjawab tantangan yang diangkat—seperti bonus demografi dan ketahanan nasional di tengah tekanan global—maka Gibran bisa mendapat kepercayaan lebih dari rakyat, terutama generasi muda yang kini menjadi penentu arah masa depan bangsa.


Sebagai wakil presiden, Gibran masih memiliki ruang dan waktu untuk membuktikan niat serta kapasitasnya. Langkah awal telah ia ambil lewat monolog tersebut.


Tinggal bagaimana langkah-langkah selanjutnya disesuaikan dengan ekspektasi publik yang terus berkembang di era keterbukaan informasi seperti sekarang.


Sumber: Gartonnews

Komentar