Sosok Mbok Yem, Penjaga Gunung Lawu dan Warungnya yang Legendaris

- Kamis, 24 April 2025 | 10:30 WIB
Sosok Mbok Yem, Penjaga Gunung Lawu dan Warungnya yang Legendaris


Kabar duka menggema di antara hembusan angin pegunungan, menyelimuti hati para pencinta alam dan pendaki Indonesia. Mbok Yem meninggal dunia.

Wakiyem, yang lebih dikenal dengan sapaan hangat Mbok Yem, sosok perempuan tangguh dan penuh dedikasi yang telah menjadi legenda di puncak Gunung Lawu, menghembuskan napas terakhirnya pada Rabu (23/4/2025) siang di kediaman sederhananya di Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Magetan.

Kepergian Mbok Yem meninggalkan jejak haru dan kenangan mendalam bagi ribuan pendaki yang pernah merasakan kehangatan sapaan dan suguhan sederhananya.

Sebelum berpulang, Mbok Yem sempat menjalani perawatan intensif di RSU Siti Aisyiyah, Ponorogo. Dugaan kuat penyebab Mbok Yem meninggal dunia karena pneumonia akut, sebuah peradangan paru-paru yang menyerang saluran pernapasannya.

Mbok Yem bukanlah sekadar pemilik warung biasa. Namanya terukir dalam setiap langkah pendaki yang melintasi jalur pendakian Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang. Sejak tahun 1980-an, dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan, ia menjaga dan melayani para pejuang ketinggian dari warung mungilnya yang berdiri kokoh di Hargo Dumilah, sebuah titik strategis di ketinggian 3.150 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Hanya berjarak 115 meter dari puncak Lawu yang megah, warung Mbok Yem bukan hanya menjadi tempat peristirahatan, tetapi juga simbol ketahanan dan keramahan di tengah dinginnya hawa pegunungan.

Bagi para pendaki yang kelelahan menaklukkan jalur terjal, kehadiran Mbok Yem lebih dari sekadar seorang pedagang. Ia adalah oase di tengah perjalanan, seorang ibu yang selalu siap menyuguhkan kehangatan dan energi melalui seporsi nasi pecel sederhana namun penuh cinta, dihargai hanya Rp15.000.

Sepiring nasi hangat dengan telur ceplok, sayuran segar, bihun, dan bumbu pecel khas Magetan racikannya sendiri menjadi penyemangat yang tak ternilai harganya. Tak ketinggalan, teh dan susu hangat selalu tersedia, menemani dinginnya udara pegunungan yang menusuk tulang.

Meskipun nasi pecel menjadi menu andalan sehari-hari, Mbok Yem juga memiliki sajian istimewa berupa soto yang hanya hadir pada waktu-waktu tertentu, terutama saat bulan Suro tiba, menambah daya tarik tersendiri bagi para pendaki yang beruntung menjamahnya. Selain itu, berbagai makanan cepat saji seperti mi instan dan aneka gorengan juga dijual dengan harga yang sangat bersahabat, mengingat betapa sulitnya medan yang harus ditempuh untuk membawa pasokan ke ketinggian tersebut.

Mbok Yem awalnya adalah penjual jamu yang gigih mencari bahan-bahan alami di lereng Gunung Lawu bersama mendiang suaminya. Setelah sang suami berpulang, tugas mencari bahan jamu dilanjutkan oleh putranya.

Mendirikan warung di puncak Lawu tidak masuk dalam rencana hidupnya. Namun, takdir membawanya bertemu dengan seorang pendaki gunung yang menginspirasinya untuk membangun sebuah rumah sekaligus warung kecil, sebuah langkah sederhana namun berdampak besar dalam memenuhi kebutuhan logistik para pendaki yang melintasi Lawu.

Salah satu hal yang paling mengesankan dari sosok Mbok Yem adalah kehidupannya yang menyatu dengan alam Lawu. Ia memiliki seekor monyet peliharaan yang diberi nama “Temon Aditya”, menjadi teman setia di tengah kesunyian puncak gunung.

Meskipun sang anak dan seorang pekerja sesekali membantu di warung, sebagian besar hari-hari Mbok Yem dihabiskan seorang diri di ketinggian, menjaga api semangat dan kehangatan bagi siapa pun yang singgah.

Perjuangan Mbok Yem untuk menjaga warungnya di ketinggian tidaklah mudah. Di masa-masa awal berjualan, ia harus memikul sendiri beban logistik ke puncak, hanya ditemani oleh anak angkatnya, Pak Muis, yang setia mendampinginya selama 17 tahun.

Namun, seiring bertambahnya usia dan menurunnya kondisi fisik, Mbok Yem mengandalkan jasa porter untuk mengangkut seluruh bahan makanan ke atas, sebuah pengorbanan finansial yang tidak kecil, mencapai Rp500.000 untuk setiap pengiriman.

Begitu pula saat ia harus turun gunung, kondisi fisiknya yang renta membuatnya tidak mampu lagi menuruni jalur terjal Lawu dengan berjalan kaki. Ia harus ditandu oleh dua orang porter dengan biaya yang cukup besar, mencapai satu juta rupiah per orang.

Diketahui bahwa Mbok Yem hanya turun dari puncak Lawu saat momen Lebaran Idul Fitri tiba, sebuah pengecualian dari rutinitasnya yang setia berada di ketinggian. Dengan tulus, Mbok Yem mengaku tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya, dan berjualan di puncak Lawu menjadi caranya untuk tetap mandiri dan mewujudkan keinginannya tersebut.

Kepergian Mbok Yem meninggalkan lubang besar di hati para pendaki dan komunitas pencinta alam. Kisahnya adalah testament tentang ketahanan, dedikasi, dan kehangatan manusia di tengah kerasnya alam. Ia bukan hanya penjaga warung tertinggi, tetapi juga penjaga semangat Lawu, seorang ibu bagi ribuan pendaki yang mencari kehangatan dan persinggahan di tengah dinginnya puncak.

Kenangan akan senyumnya, nasi pecelnya yang sederhana namun nikmat, dan kehadirannya yang menenangkan akan terus hidup dalam cerita dan langkah kaki setiap pendaki yang pernah singgah di warungnya, mengabadikan Mbok Yem sebagai bagian tak terpisahkan dari legenda Gunung Lawu. Selamat jalan, Mbok Yem. Kisahmu akan terus menginspirasi.

Sumber: suara
Foto: Mbok Yem Pemilik Warung di Puncak Lawu Ditandu Turun Gunung. [Instagram/@magetanbanget]

Komentar