Anggota tim penasihat hukum terdakwa Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, menyebut sumber uang suap pergantian anggota DPR Fraksi PDIP periode 2019-2024 bersumber dari Harun Masiku. Hal itu berdasarkan fakta selama persidangan.
Awalnya, Febri menyebut adanya inkonsistensi dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta percampuran antara fakta yang sebenarnya dengan asumsi-asumsi yang terungkap selama dua kali persidangan saksi.
"Jadi tadi ada satu poin penting yang ada di dakwaan penuntut umum yang tidak terbukti. Satu poin penting, saya mulai dari satu poin yang paling mendasar. Jadi penuntut umum itu mendakwa pemberian uang sejumlah Rp600 juta yang diberikan sebanyak dua kali. Tadi confirm dan sesuai dengan keterangan saksi sebelumnya yang hari Kamis minggu lalu, bahwa pemberian uang tersebut hanya terjadi satu kali. Satu kali pada 17 Desember 2019," kata Febri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025.
Dari dua persidangan yang sudah berlangsung hingga saat ini, para saksi memang mengungkapkan bahwa sumber uang suap pengurusan di KPU adalah dari Harun Masiku.
"Yang memberikan siapa? Yang memberikan pada saat itu adalah Tio kepada Wahyu, Tio bersama Saeful Bahri. Uangnya dari mana? Uangnya dari Harun Masiku. Itu yang tadi klir terbukti dan berkesesuaian dengan sidang sebelumnya. Jadi kalau bisa disebut bagian penting dari dakwaan KPK tadi, itu gugur," terang Febri.
Apalagi, lanjut Febri, dari keterangan para saksi terungkap bahwa uang Rp400 juta atau 38.300 dolar Singapura tidak pernah berpindah tangan dari saksi Agustiani Tio Fridelina.
"Bahkan hanya diperlihatkan amplopnya tapi kemudian diambil kembali dan ingin dikembalikan oleh Ibu Tio pada Saeful. Jadi tidak pernah ada pemberian 600, apalagi penerimaan 600 (juta). Berkesesuaian ya dengan keterangan Wahyu yang kemarin," tutur Febri.
Selain inkonsistensi dakwaan, Febri juga menyoroti adanya percampuran antara fakta dan asumsi yang terungkap selama persidangan. Di mana, pada persidangan Wahyu Setiawan sebagai saksi, seolah-olah ada fakta baru ketika Wahyu mengaku mendengar percakapan saksi Donny Tri Istiqomah dan Saeful berbincang ketika sedang merokok di Gedung Merah Putih KPK di sela-sela istirahat pemeriksaan setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
"Wahyu Setiawan mendengar Saeful Bahri dan Donny bicara tentang sumber dana. Nah tadi kita tanya ke Donny, ternyata Donny mengatakan satu tidak benar semuanya di ruang rokok, karena Saeful justru ada di musala pada saat itu dan Ibu Tio ada di musala di lantai 2 gedung KPK di sela pemeriksaan," jelas Febri.
Asumsi Wahyu Setiawan selaku mantan Komisioner KPU, menurut Febri, merupakan bentuk kekeliruan dari fakta yang ada seperti yang diungkapkan saksi Donny pada hari ini.
"Justru Wahyu yang curhat dan bertanya pada Donny. Karena Donny ini kan background-nya juga lawyer ya. Wahyu yang bertanya pada Donny, kalau saya ini kan kena dua kasus kata Wahyu, kira-kira hukuman saya berapa? Itu diputarbalikkan seolah-olah Wahyu mendengar Donny dan Saeful bicara," kata Febri.
"Nah itulah yang kemarin, minggu lalu, yang kami sebut sebagai kita tidak bisa berpegangan dan hukum tidak boleh bergantung pada apa yang disebut dengan testimonium de auditu atau yang disebut dalam istilah keseharian kabar burung," sambung Febri.
Bahkan kata Febri, saksi Tio juga tidak pernah mendengar adanya pernyataan bahwa sumber uang suap berasal dari Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Sehingga dua saksi hari ini sebenarnya mengonfirmasi bahwa keterangan yang disampaikan Wahyu kemarin itu tidak benar dan tidak ada. Nah, ini satu poin penting sebagai edukasi hukum bagi kita semua. Jangan sampai ada orang yang dituduh dengan metode-metode testimonium de auditu tersebut," tegas Febri.
Febri juga menyoroti bagaimana asumsi dapat terbentuk dan kemudian dianggap sebagai fakta. Ia menyimpulkan, bahwa selama dua hari persidangan memberikan kejelasan dalam memilah antara fakta yang benar, asumsi, dan konstruksi yang tidak berdasar.
Febri kemudian menjelaskan langkah konstitusional yang diambil PDIP terkait kekosongan hukum menyangkut caleg terpilih, termasuk pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan permintaan fatwa ke MA.
Dirinya menilai, bahwa permasalahan muncul karena KPU tidak melaksanakan putusan MA dengan benar.
Febri juga menyinggung adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi dengan menjanjikan pengurusan perkara di KPU.
"Jadi jalur konstitusional ini kemudian dibajak oleh kepentingan orang-orang tertentu. Nah yang terjadi sekarang seolah-olah jalur konstitusional tadi dicampuradukkan dengan yang kedua. Itu harus dipisahkan," pungkas Febri.
Sumber: rmol
Foto: Suasana sidang saksi Donny Tri Istiqomah dan Agustiani Tio Fridelina/RMOL
Artikel Terkait
Dibombardir Tank Merkava Israel hingga Tak Sadarkan Diri, Begini Aksi Heroik 2 Prajurit Marinir TNI AL Bertahan
Akui Pernah Jadi Pelakor Tapi Ogah Disamakan dengan Lisa Mariana, Ayu Aulia Dihujat
Jubir PDIP Ungkap Isi Surat Hasto Singgung Peradilan Politik
GEGER! Mahasiswa di Sumsel Tembak Mati Ibu Kandung