Jokowi Diutus ke Pemakaman Paus: Matahari Kembar Padam di Vatikan?

- Sabtu, 26 April 2025 | 22:05 WIB
Jokowi Diutus ke Pemakaman Paus: Matahari Kembar Padam di Vatikan?


Pada 26 April 2025, Presiden Prabowo Subianto mengutus mantan Presiden Joko Widodo menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan. Berita ini memicu sejumlah pertanyaan: apa sebenarnya maksud di balik langkah ini? Apakah ini sekadar gestur diplomatik? Atau ada agenda politik yang lebih licin di belakangnya?

Keputusan Prabowo mengirim Jokowi, mantan presiden yang masih memiliki pengaruh besar di panggung politik Indonesia, bukanlah perkara sederhana. Di permukaan, ini bisa dilihat sebagai upaya menunjukkan wajah Indonesia yang toleran. Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia mengutus seorang muslim ke acara kenegaraan Katholik dunia. Pesan yang ingin disampaikan tampak mulia: Indonesia adalah teladan harmoni antaragama.

Namun, benarkah semuanya seindah itu? Pertama, mari kita kulik motif toleransi. Jika Prabowo ingin memamerkan sikap inklusif, mengapa tidak mengutus tokoh lintas agama yang lebih netral? Perwakilan dari Kementerian Agama atau tokoh masyarakat, misalnya.

Prabowo: Saya Bosnya!

Mengutus Jokowi justru menimbulkan tanda tanya. Dia figur yang identik dengan polarisasi politik selama dua periode kekuasaannya. Jadi, apakah ini benar-benar soal toleransi? Atau sekadar manuver untuk memanfaatkan pamor global Jokowi demi kepentingan citra Prabowo?

Kedua, ada narasi “matahari kembar” yang digaungkan sebagian kalangan. Istilah ini merujuk pada dugaan bahwa Jokowi masih memegang kendali di balik layar. Asumsi ini sangat mengganggu. Pasalnya, kekuasaan formal telah beralih ke Prabowo.

Tapi, dengan mengutus Jokowi sebagai “duta” ke Vatikan, Prabowo seolah ingin menegaskan hierarki: Jokowi kini hanya bawahan, pelaksana tugas. Bukan lagi pengambil keputusan.

Ini adalah pukulan simbolis yang cerdas, tapi juga sekaligus berisiko. Jika Prabowo ingin meredam narasi matahari kembar, mengapa justru memberikan panggung internasional kepada Jokowi? Bukankah ini kontradiktif, seperti memadamkan api dengan menyiram bensin?

Di platform X, publik terpecah. Sebagian memuji langkah ini sebagai diplomasi yang elegan. Sementara yang lain mencium aroma teater politik. “Prabowo cuma pakai Jokowi untuk poles citra,” tulis seorang warganet.

Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Dalam konteks politik Indonesia, setiap gestur kenegaraan selalu sarat dengan kalkulasi. Prabowo, yang baru menapaki awal kepemimpinannya, membutuhkan legitimasi domestik dan internasional. Mengutus Jokowi—dan juga keponakannya, Thomas Djiwandono yang jadi Wamenkeu—bisa jadi cara untuk menyenangkan basis pendukung Jokowi. Di sisi lain, sekaligus menegaskan bahwa Prabowo adalah bos sejati.

Namun, ada yang patut dicermati. Pengiriman Jokowi ke Vatikan juga bisa dibaca sebagai upaya mengalihkan perhatian publik dari isu-isu domestik yang lebih mendesak, seperti kenaikan harga bahan pokok atau ketegangan politik pasca-pemilu. Dengan sorotan media tertuju pada Jokowi di Vatikan, pemerintah mendapat ruang untuk mengelola narasi tanpa gangguan.

Ini adalah trik klasik penguasa. Ketika dalam negeri memanas, lemparkan drama internasional.

Jokowi Terjepit, Apa Boleh Buat

Lalu, bagaimana dengan Jokowi sendiri? Sebagai mantan presiden, bukan mustahil dia paham, bahwa peran ini lebih simbolis ketimbang substantif. Namun, Jokowi juga tidak dalam posisi untuk menolak. Menolak berarti memicu spekulasi baru tentang hubungannya dengan Prabowo. Menerima berarti dia rela dimanfaatkan sebagai alat politik.

Apa pun yang terjadi dari kedua skenario tadi, Jokowi tetap berada di posisi sulit. Terjebak dalam permainan kekuasaan yang kini didominasi Prabowo.

Pada akhirnya, langkah ini menunjukkan bahwa politik Indonesia masih berputar pada permainan citra dan simbol. Diplomasi ke Vatikan, yang seharusnya menjadi momen untuk memperkuat hubungan bilateral, justru menjadi panggung untuk adu kuasa domestik.

Prabowo mungkin berhasil mencetak poin politik. Tapi pertanyaan besar tetap menggantung: sampai kapan publik akan terus disuguhi sandiwara semacam ini. Bukankah masalah riil di depan mata dibiarkan menggunung?

Jakarta, 26 April 2025

Oleh: Edy Mulyadi
Wartawan Senior
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar