Gibran Mau Pelajar TK-SMA Ahli Main AI, Tapi Studi Microsoft Bilang: Otak Bisa Tumpul!

- Senin, 28 April 2025 | 13:30 WIB
Gibran Mau Pelajar TK-SMA Ahli Main AI, Tapi Studi Microsoft Bilang: Otak Bisa Tumpul!




MURIANETWORK.COM - Wacana Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, yang ingin "membumikan" pembelajaran kecerdasan buatan (AI) mulai dari tingkat SMA bahkan hingga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau TK, tentu mencerminkan semangat adaptasi teknologi yang patut diapresiasi. 


Namun, jika dikaitkan dengan studi terbaru Microsoft dan Universitas Carnegie Mellon, wacana ini perlu ditinjau ulang secara serius.


Studi tersebut menemukan bahwa penggunaan AI yang tidak disertai keterampilan berpikir kritis dapat menumpulkan kemampuan kognitif manusia. 


Penelitian terhadap 319 pekerja dari berbagai bidang mengungkapkan bahwa semakin tinggi kepercayaan terhadap AI, semakin rendah kecenderungan individu untuk berpikir kritis terhadap hasil yang diberikan mesin. 


Bahkan, 40 persen tugas yang dikerjakan dengan bantuan AI dalam studi ini tidak melibatkan berpikir kritis sama sekali.


"Jika digunakan dengan cara yang salah, teknologi dapat dan memang menyebabkan penurunan kemampuan kognitif yang seharusnya dipertahankan," tulis para peneliti Microsoft dan Carnegie Mellon dikutip dari Livescience, Senin (28/4).


Dalam konteks itu, mengenalkan AI kepada anak-anak SMA—apalagi ke tingkat SD dan TK—tanpa membarenginya dengan pendidikan literasi digital kritis, justru berisiko mempercepat degradasi kemandirian berpikir generasi muda. 


Mereka bisa tumbuh menjadi pengguna pasif yang hanya menerima jawaban dari mesin, tanpa mempertanyakan validitas, etika, atau konsekuensinya.


Gibran memang menekankan bahwa pengenalan dilakukan secara "sederhana", seperti membuat grafis lucu atau menyelesaikan soal matematika dengan AI. 


Namun, tanpa pendidikan yang menekankan nalar, verifikasi fakta, dan keterampilan problem solving mandiri, pembiasaan ini bisa memperdalam ketergantungan kognitif pada mesin di usia-usia yang justru krusial untuk pembentukan karakter berpikir kritis.


Lebih jauh lagi, pada usia PAUD hingga SD, tahap perkembangan kognitif anak-anak belum optimal untuk memahami konsep abstrak seperti bias algoritma, akurasi informasi, atau batasan teknologi. 


Mengajari mereka "prompting" tanpa membekali mereka kerangka berpikir evaluatif, sama saja menanamkan budaya instan tanpa daya refleksi.


"Menariknya, meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi, AI juga dapat mengurangi keterlibatan kritis, terutama dalam tugas rutin atau tugas dengan tingkat risiko rendah di mana pengguna hanya mengandalkan AI," tulis studi tersebut lebih lanjut.


Kritik utama terhadap wacana ini bukan pada niat untuk mengenalkan teknologi, melainkan pada ketidakseimbangan pendekatan: mempercepat adopsi AI tanpa mempercepat juga pendidikan berpikir kritis dan literasi etika digital.


Jika Indonesia ingin "membumikan" AI secara bertanggung jawab, maka pendidikan literasi digital yang kritis dan etis harus menjadi fondasi utama sebelum keterampilan teknis dikenalkan, terutama untuk pelajar muda. 


Tanpa itu, kita hanya mencetak generasi pengguna teknologi yang canggih di permukaan, tapi rentan terhadap manipulasi, informasi palsu, dan kehilangan kemampuan berpikir mandiri.


Sumber: Inilah

Komentar