MURIANETWORK.COM - Pada momen apa dokter Priguna pertama kali tertarik secara seksual pada target? Dia pertama kali bernafsu pada target ketika target sedang melakukan apa?
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mempertanyakan hal itu untuk memastikan apakah Priguna, seorang dokter anastesi peserta PPDS Fakultas Kedokteran Unpad, mengidap somnofilia. Reza menjelaskan, somnofilia mirip dengan nekrofilia, yakni keterangsangan seksual pada manusia yang tengah berada dalam kondisi pasif atau tidak sadar.
”Nekrofilia, pada mayat. Somnofilia, pada orang bernyawa. Benarkah P adalah pengidap somnofilia?” ucap Reza.
Berita yang beredar, lanjut Reza, pelaku mengelabui target ketika target dalam keadaan sadar. Lalu, menggunakan cara kekerasan berupa bius. Setelah target berada dalam kondisi pasif, yakni kehilangan kesadaran, baru pelaku melakukan rudapaksa.
”Alur perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa pelaku sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual, ketika si target berada dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, keterangsangan seksual pelaku mirip dengan orang kebanyakan,” tandas Reza.
Kondisi pasif (tidak sadar) target, menurut dia, bukan sesuatu yang membuat pelaku terangsang. Kondisi tidak sadar target merupakan kondisi yang pelaku ciptakan dengan cara kekerasan (paksaan) agar dapat memenuhi nafsu seksual tanpa perlawanan sama sekali dari target.
”Menggunakan kekerasan agar target bisa disetubuhi tanpa perlawaan, itu modus biasa dalam perkosaan. Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu,” papar Reza.
Jadi, Reza mempertanyakan mengapa polisi berfokus pada perdebatan tentang ketertarikan seksual pelaku? Menurut dia, polisi, selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi pada tidak adanya persetujuan (consent) dari orang-orang yang menjadi korban.
”Pada penggunaan kekerasan yang pelaku jadikan sebagai modusnya. Di situlah letak kerja hukumnya,” ungkap Reza.
Dia menambahkan, UU TPKS menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius. Pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.
”Semestinya itulah target penegakan hukum. Polisi, dengan kata lain, sepatutnya memakai cara berpikir retributif,” ujar Reza.
Namun Reza menyayangkan Polda Jabar justru membuka celah bagi tersangka atau terdakwa untuk memperoleh peringanan pidana lewat narasi kelainan seksual. Kelainan berasosiasi dengan gangguan, penyimpangan, ketidaknormalan, ketidaksehatan, dan semacamnya.
”Sehingga, alih-alih retributif, polisi justru seolah memakai cara pandang rehabilitatif. Bahwa, pelaku berbuat jahat akibat pengaruh kelainan yang dia idap. Sehingga, logis, kelainan harus diobati,” kata Reza.
”Padahal, andai kelainan seksual itu benar-benar ada, bukan polisi melainkan penasihat hukum tersangka yang punya kepentingan membangun narasi itu,” imbuh dia.
Reza menambahkan, kendati rencana melibatkan disiplin non hukum ke dalam kerja penegakan hukum adalah positif, diangkatnya narasi tentang kelainan seksual terkesan sebagai cara Polda Jabar menambah bobot dramatis kasus ini.
”Cara itu salah kaprah, bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika dia divonis bersalah,” ucap Reza.
Sumber: jawapos
Artikel Terkait
Mantan Artis Drama Kolosal Ditangkap! Shopping Pakai Uang Palsu di Mall Kemang, Rp223,5 Juta Disita
Modus Kasih Takjil saat Ramadan, Dosen Cabuli Anak Tetangga yang Masih SD
Edan! Oknum Polisi Jualin Narkoba ke Wisatawan di Pulau Berhala Kepri
Tak Cukup Cuma Dipenjara dan Cabut STR-SIP, Dokter Cabul Priguna Harus Dikebiri!