MURIANETWORK.COM - Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengomentari soal pengesahan Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) menjadi UU TNI oleh DPR RI.
Sebab dalam UU TNI versi baru, ada pasal yang menyebutkan kalau fungsi TNI diperluas ke ancaman siber.
Selain itu, regulasi baru ini juga membuka peluang bagi para prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi sipil yang mengatur ruang siber.
Menanggapi ini, Meutya Hafid mengaku kalau Kementerian Komdigi masih menunggu pengesahan poin tersebut soal keamanan siber.
Ia juga mengaku kalau mereka terbuka untuk berdiskusi.
"Kami masih menunggu poin baru di UU TNI yang terkait keamanan siber. Pada prinsipnya, kami terbuka sekali untuk diskusi," ungkap Meutya saat ditemui di sela-sela acara Buka Puasa Bersama Kemkomdigi di Jakarta, Jumat (21/3/2025) lalu.
Ia kembali menegaskan kalau Kementerian Komdigi bakal apabila diminta masukan dari pihak terkait soal fungsi baru tentara di ruang siber.
"Jikalau nanti kami juga dipersilakan untuk memberikan masukan, tentu akan dengan senang hati memberikan masukan," ujar dia.
UU TNI ditentang koalisi sipil
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Digital Democracy Resilience Network (DDRN) mengatakan kalau UU TNI tersebut mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital.
"Seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi," ungkap DDRN yang diunggah oleh akun X SafeNET, dikutip Kamis (20/3/2025).
Dalam draf final RUU TNI, DDRN menyatakan adanya perluasan fungsi pada Pasal 7 Ayat 2b mengenai operasi militer selain perang (OMSP).
Fungsi TNI diperluas untuk membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber.
Pada penjelasannya, disebutkan bahwa TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan atau cyber defence.
Menurut mereka, pasal ini bersifat karet dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber.
"Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi daring," imbuh DDRN.
Setidaknya ada empat poin dari DDRN soal efek TNI masuk ke ranah digital. Berikut uraiannya.
1. Negara bisa batasi ruang sipil di ranah digital
DDRN menilai kalau perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi Negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil.
Dicontohkan, tentara bisa melakukan pembatasan informasi, penurunan konten, pemblokiran website, hingga pengetatan regulasi ekspresi online dengan dalih ancaman propaganda asing tanpa penilaian transparan dan rasional.
Menurutnya, semakin banyak intervensi yang dilakukan oleh negara akan selalu beriringan dengan menurunnya kebebasan ruang sipil.
2. Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber
DDRN mengatakan kalau Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber secara holistik dan komprehensif.
Menurutnya, ancaman siber dipandang sebatas ancaman terhadap negara dan militer.
"Padahal terdapat peraturan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibahas dan disahkan seperti peraturan mengenai akuntabilitas korporasi digital yang bertanggung jawab atas operasi informasi di platformnya," kata DDRN.
Selain itu, regulasi lain yang sekiranya perlu disahkan adalah peraturan pelaksana Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) agar dapat berlaku secara efektif.
"Dibandingkan dengan memperluas fungsi TNI, peraturan-peraturan ini justru lebih penting karena dapat memberikan dampak dan manfaat langsung bagi masyarakat, seperti melindungi privasi serta menjamin hak atas informasi yang kredibel," papar DDRN.
3. Konflik kepentingan TNI dengan Komdigi-BSSN
DDRN menyebut kalau peran TNI berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).
Padahal dalam UU ITE, katanya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) adalah penanggung jawab utama penanganan konten-konten ilegal dan berbahaya.
"Jika TNI diberikan kewenangan yang luas dalam menangani ancaman siber non-teknis seperti operasi informasi, maka akan terjadi konflik kewenangan dengan Komdigi," lanjut mereka.
Selain itu, RUU KKS juga mengandung substansi serupa sehingga berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Hal ini semakin menyudutkan posisi rentan demokrasi masyarakat vis-a-vis aparatur sipil, quasi-militer, dan militer sekaligus di ranah digital," terang dia.
4. Prajurit TNI aktif bisa duduki jabatan sipil
Terakhir, DDRN mengatakan kalau perluasan jabatan siber di ruang siber yang dapat diduduki prajurit TNI aktif menjadi ancaman nyata bagi prinsip supremasi sipil dalam konteks tata kelola siber.
Dicontohkan mereka, jika prajurit TNI aktif dapat menduduki posisi strategis di BSSN, maka independensi lembaga dalam merumuskan kebijakan dapat terdistorsi dengan kepentingan militer.
"Selain itu, dominasi militer dalam tata kelola siber juga dapat melahirkan kebijakan-kebijakan siber yang bersifat militeristik, yang acapkali tidak sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM)," pungkasnya.
Sekadar informasi, DDRN adalah jejaring masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu demokrasi digital di Indonesia. Jejaring ini dibentuk tahun 2021 lalu.
Adapun anggota DDRN meliputi:
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
- Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
- Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
- Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa)
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
- Arus Pelangi
- Public Virtue (PV)
- Social Justice Indonesia (SJI)
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
- Pusat INformasi, Kecerdasan Artifisial, dan Teknologi (PIKAT) Demokrasi
- SIGAB Indonesia
- XR Meratus
- FeminisThemis
- Flower Aceh
- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
- Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
- GeRAK Aceh
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
- Safer Internet Lab (SAIL)
- YPPM Maluku
- Serikat Sindikasi
- INKLUSI
- Remotivi
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Pengamat: Mengapa Prabowo Begitu Mengistimewakan Jokowi?
Rangkap Jabatan Ganggu Kinerja BUMN
Ke Mana Najwa Shihab? Warganet Pertanyakan Sikapnya Bungkam di Rezim Kali Ini
Gibran Siapkan Jembatan Politik Buat Lawan Prabowo di 2029